" Kamu pernah denger gak, kata-kata ini. Cinta itu bukan seberapa lama kita bertahan untuk memiliki, tapi seberapa besar hati kita mencintai dengan tulus," Kamu, yang sejak tadi menungguku selesai dari ekskul basket, langsung menanyakan hal itu padaku, saat aku telah duduk di depanmu. Aku menggeleng. Tanganmu menghapus keringat diwajahku dengan tisu yang selalu ada saat kamu menemaniku berlatih basket.
" Aku juga baru denger itu dari temenku," Tambahmu. Sebenarnya, pertanyaanmu itu seperti sesuatu yang menganjal dipikiranku. Biasanya, kamu selalu menanyakan " Gimana latihannya?" Sebagai pembuka pembicaraan saat aku mendatangimu sehabis latihan basket, seperti ini. Namun kini berbeda.
" Yang, kalau misalkan kamu punya burung merpati yang bagusss banget, kamu sayang sama burung itu, dan burung itu kamu kurung. Tapi, kamu tau kalo burung itu pengen bebas, pengen nyari pasangannya, apa yang bakal kamu lakuin?" Aku mengerutkan dahiku, mengambil air mineral yang kamu sodorkan.
" Hm... Aku lepasin," Jawabku, lalu menengguk air itu setengah abis.
Sinar diwajahmu meredup saat aku menjawab pertanyaanmu.
" Kamu...Apa kamu bakal bahagia kalau... Kalau aku bebasin kamu?"
Aku batuk, tersedak minuman. Benar apa firasatku sejak tadi. Walau kamu bicara dengan suara yang pelan dan sambil menunduk, aku tetap bisa mendengarnya dengan jelas, sangat jelas seolah-olah kamu berteriak ditelingaku.
" Kamu ngomong apa sih? Kamu mau putus? Aku gak mau," Aku bicara saat batukku sudah reda. Kutatap mata kamu dengan seksama. Kamu masih menunduk.
" Aku sayang sama kamu, tapi aku udah gak tahan sama sifat kamu, aku ngerasa kalo kamu ga punya perasaan yang sama ke aku... Aku udah nyoba buat ngertiin kamu, tapi kamu..." Untuk selanjutnya aku hanya duduk diam. Diam, bukan berarti aku mendengarkan semua ucapanmu. Aku diam, karna aku tak bisa menyangkal semua perkataanmu yang merupakan fakta tentang diriku.
Sampai pada akhirnya, aku merasakan kamu mengenggam tanganku. Aku kembali mendengar. Kulihat wajahmu yang tersenyum. Aku tahu itu hanya sebuah senyuman palsu agar aku tak melihat betapa hancurnya hatimu. Kamu menghembuskan nafas.
" Kita temenan aja ya?" Aku diam, tak mau menjawab. Kamu tetap tersenyum, kamu kuatkan genggaman tanganmu.
" Aku sayang sama kamu, kalo kita pacaran, aku bakal cemburu dan marah kalo kamu deket sama cewe lain, tapi...dengan kita temenan, aku juga sayang sama kamu, aku bisa cemburu sama kamu, tapi aku gak bisa marah sama kamu," Lanjutmu, aku diam. Aku tak mau bicara, aku gak mau putus sama kamu!
" Udah mau magrib, aku pulang duluan ya,?" Ucapmu. Kamu berdiri, melepaskan genggaman tanganmu dari tanganku. Takku biarkan kamu menjauh dariku. Aku genggam erat tanganmu. Aku ikut berdiri.
" Kasih aku kesempatan kedua," Kesempatan kedua? Bukan...aku, jika kamu memberikanku kesempatan lagi, ini adalah kesempatan keseribu yang kamu berikan. Kamu tersenyum. Senyum manis, namun menurutku adalah senyuman yang menyayat hatiku.
" Kamu bakal bahagia dan belajar menghargai dengan perempuan yang lebih baik dariku," Ucapmu, mengelus pipiku dengan lembut. Kamu coba lepaskan genggamanku. Aku eratkan.
" Aku antar kamu pulang," Aku menarikmu. Namun kamu diam ditempat, membuatku berbalik dan menatapmu heran. Matamu, sorot matamu yang biasanya lembut kini menegang, tubuhmu terlihat sangat kaku. Untuk, beberapa menit kamu hanya diam, sampai kamu menggeleng.
" Aku pulang naik bus aja, lagian arah rumah kita berlawanan," Kamu lepaskan gengamanku, lalu berlalu dari hadapanku begitu saja. Aku khawatir, saat melihat jalanmu yang sempoyongan, berpegangan pada benda yang ada disekitarmu. Apa yang terjadi padamu? Apa kamu sedang sakit? Atau karena aku? Aku diam memperhatikan dirimu.
Dulu, saat kamu menungguku selesai latihan basket, aku selalu sibuk dengan teman-temanku, sehingga tak bisa mengantarmu pulang. Kini saat aku ingin mengantarmu, kamu yang menolaknya. Aku diam, menatap punggungmu yang semakin lama semakin menjauh. Seperti dirimu yang kini jauh dari genggamanku.
Seperti aku yang dulu tak peduli padamu yang terbaring lemah diranjang rumah sakit selama berbulan-bulan, tanpa membuka mata, tanpa kamu tahu bahwa kedua orangtuamu sudah pergi jauh. Tanpa kamu tahu, kamu akan hidup dengan siapa, nantinya. Tanpa kamu tahu, aku membawa wanita lain kehadapanmu saat kamu koma. Tanpa kamu tahu, aku menghianatimu saat kamu tertidur lelap, bukan, bukan hanya saat kamu tertidur, saat kamu sadar pun, aku tetap mengkhianatimu.
Dan sampai sekarang, aku masih belum tahu kamu tinggal bersama siapa, karena aku tidak pernah peduli, dan kamu tidak pernah menceritakannya.
Seperti aku yang dulu tak peduli padamu yang terbaring lemah diranjang rumah sakit selama berbulan-bulan, tanpa membuka mata, tanpa kamu tahu bahwa kedua orangtuamu sudah pergi jauh. Tanpa kamu tahu, kamu akan hidup dengan siapa, nantinya. Tanpa kamu tahu, aku membawa wanita lain kehadapanmu saat kamu koma. Tanpa kamu tahu, aku menghianatimu saat kamu tertidur lelap, bukan, bukan hanya saat kamu tertidur, saat kamu sadar pun, aku tetap mengkhianatimu.
Dan sampai sekarang, aku masih belum tahu kamu tinggal bersama siapa, karena aku tidak pernah peduli, dan kamu tidak pernah menceritakannya.
***
Sudah dua minggu sejak kita berpisah. Kamu, kamu bilang...kita akan menjadi teman, namun apa yang terjadi? Kamu selalu menghindar dariku, menjauhiku. Dan selama dua minggu ini, aku sudah menjalin hubungan dengan tiga siswi yang termasuk idola dikalangan siswa. Semuanya tak ada yang sama denganmu dalam menghadapi sikapku, jangankan sama. Mendekati sikap sabarmu saja tak ada. Mereka semua...menyebalkan. Sehingga hanya beberapa hari saja aku menjalin hubungan dengan mereka.
Kamu, aku tak tahu jika banyak siswa yang menyukaimu. Mereka kini mendekatimu. Iya...aku selalu memperhatikanmu. Siswa-siswa itu selalu mencari perhatianmu. Membantumu. Tidak sepertiku yang selalu mengabaikanmu.
Aku duduk didepan kelasku, saat kelas lain sedang belajar, kelasku tak ada guru. Tak sengaja aku melihatmu sedang berjalan sendirian didepan koridor kelas 11. Koridor yang menghubungkan antara kelas 11 IPA dan 11 IPS ke ruang guru, kopsis, dan toilet.
Aku tau, kamu sengaja keluar kelas. Kini aku hapal pada tabiatmu yang selalu keluar saat pelajaran. Untuk membuang rasa kantuk pada jam-jam terakhir pelajaran disekolah. Aku selalu memperhatikanmu setelah kita berpisah. Hampir setiap hari kamu masuk ruang kesehatan, pingsan dan lainnya.
Saat minggu kemarin juga, hatiku mencolos saat melihatmu ditempat pertandingan basket. Kamu menemani Doni, bertanding basket. Jujur aku iri, dulu aku yang menolak saat kamu mau menemaniku bertanding basket. Aku hanya mengizinkanmu melihatku berlatih basket, itu pun jika berlatih dilapangan sekolah. Karna, aku tak mau kamu menjadi penghalang, jika ada wanita yang lebih darimu ditempat aku bertanding basket. Namun kini aku yang iri, melihatmu mendampingi pria lain bermain basket. Apalagi, pria itu adalah kapten tim basket sekolah yang menjadi rival tim basket sekolah kita.
***
Saat minggu kemarin juga, hatiku mencolos saat melihatmu ditempat pertandingan basket. Kamu menemani Doni, bertanding basket. Jujur aku iri, dulu aku yang menolak saat kamu mau menemaniku bertanding basket. Aku hanya mengizinkanmu melihatku berlatih basket, itu pun jika berlatih dilapangan sekolah. Karna, aku tak mau kamu menjadi penghalang, jika ada wanita yang lebih darimu ditempat aku bertanding basket. Namun kini aku yang iri, melihatmu mendampingi pria lain bermain basket. Apalagi, pria itu adalah kapten tim basket sekolah yang menjadi rival tim basket sekolah kita.
***
Aku berjalan dengan sobatku, Han. Disamping gerbang sekolah, aku melihat seorang nenek dan cucu-nya dengan pakaian usang. Beristirahat disana. Terus berjalan. Menelusuri seluruh seluk beluk sekolah yang sudah sepi. Saat itulah aku melihatmu yang sedang membeli nasi dan lauk pauknya dikantin sekolah. Dijam pulang seperti ini kamu membeli makanan. Setahuku, kamu selalu membawa bekal kesekolah. Han pergi menuju lapangan basket, tempat anak basket lainnya berkumpul untuk berlatih.
Ah, minggu depan kita akan mengikuti ujian akhir sekolah. Aku tidak yakin akan dapat fokus ke ujian jika sampai saat ini saja aku masih menyesali masa laluku padamu, masa lalu hubungan kita.
Ah, minggu depan kita akan mengikuti ujian akhir sekolah. Aku tidak yakin akan dapat fokus ke ujian jika sampai saat ini saja aku masih menyesali masa laluku padamu, masa lalu hubungan kita.
***
Aku buntuti kamu yang pergi membawa dua bungkus nasi. Aku bersembunyi dibalik pintu gerbang saat kamu berhenti didepan gerbang sekolah. Kamu berikan dua bungkus nasi itu pada nenek dan cucunya yang duduk disamping gerbang sekolah yang aku lihat tadi. Aku terpana. Kamu yang hidup sendirian, kerja paruh waktu untuk menghidupi dirimu sendiri saja mampu memberikan makanan untuk orang yang membutuhkan, namun aku? Aku yang merupakan anak tunggal dari pengusaha sukses, tak mampu memberikannya.
Kamu berdiri membelakangiku, tak lama sebuah motor matic berhenti didepanmu. Aku perhatikan dengan seksama. Aku tak berkedip sedikitpun. Dia...dia yang dulu hendak mengambil kamu dariku. Dia, pria yang selalu membuatku cemburu, sehingga aku ingin membuatmu cemburu juga.
Kamu berbincang-bincang sebentar didepan gerbang, tertawa, tersipu. Seperti, kamu tak punya beban sama sekali jika bersamanya. Aku mendengar semua yang kamu bicarakan dengannya. Karna, aku berdiri dibelakangmu, tepat dibelakangmu, yang hanya ada sebuah tembok pagar yang menghalagi. Kalian terdiam. Sampai...
" Sya..." Sya...itu panggilan sayangku untukmu. Namamu Ranisya Aulia. Teman-temanmu memanggilmu Rani, tapi aku memanggilmu Sya. Kenapa kamu izinkan pria itu memanggilmu dengan sebutan yang aku berikan? Apakah dia juga spesial untukmu, sehingga kamu mengizinkannya?
" Sya...aku sayang sama kamu, kamu ma..."
" Pergi sekarang yuk Don, udah sore, nanti aku telat," Aku tercengang, aku tahu kalau kamu tahu apa sebenarnya ingin Doni, temanmu, katakan. Tapi, kamu memotongnya. Apakah hatimu masih untukku? Apakah sebenarnya, hatimu masih bersamaku? Aku bingung. Karna hanya kamulah yang tahu jawabannya. tapi, telat? telat untuk apa?
Aku mendengar suara motor yang menjauh. Kamu dan dia berlalu. Aku berjalan dalam diam. Aku duduk ditempat saat dua minggu lalu saat kau memutuskanku. Semua kenangan tentang kita, kenangan yang membuatmu memutuskanku. Bersiar ulang dalam ingatanku.
Saat pertama kali aku mulai mendekatimu. Kamu tak merespon sedikitpun pendekatanku. Kamu acuhkan aku, abaikan aku, jutek, judes, tapi itulah yang membuatku ingin mendapatkanmu. Kamu berbeda dengan wanita lainnya.
Ku akui, aku memang playboy. Tak sulit untukku menaklukkan wanita. Kecuali dirimu. Dan setelah aku mendapatkanmu, aku abaikan dirimu, aku acuhkan dirimu, dan kini...aku menyesal akan masa laluku.
Aku ingat, saat kamu pertama kalinya memergokiku selingkuh. Kamu diam berminggu-minggu. Tak menganggap aku ada. Kau tahu? Aku tak tenang saat kamu mendiamkanku sedemikian rupa, dulu aku enggan mengakuinya, namun kini aku akui. Bahwa aku, hidupku terasa hambar jika kamu mendiamkanku.
Selalu aku menyakiti dirimu, saat kamu membawakanku bekal ketika aku latihan basket. Masakanmu sendiri. Dan, saat kamu pergi untuk ekskul musik. Aku berikan nasi goreng spesial buatanmu pada teman-temanku. Yang menurut mereka, sangat enak. Saat kamu kembali, aku kembalikan kotak bekalmu, dan bilang kalau masakanmu enak sekali, padahal aku tak mencicipinya sedikitpun.
Aku menghela napas, sesal menghantui diriku. Aku sadar, aku mencintai kamu, aku sadar saat kamu sudah tak lagi menjadi kekasihku. Sebuah bola basket melayang kepadaku, aku tangkap. Aku menanggah, dan aku melihatmu disana. Berdiri diam menatapku. Aku tersenyum, dan senyum itu hilang kala aku berkedip, dan melihat Han berdiri ditempatmu tadi berdiri. Dia mengisyaratkanku, agar cepat ikut berlatih.
Selama berlatih aku tak mampu fokus pada latihan. Setiap detik, bayanganmu dengan Doni muncul dipikiranku, seperti siaran tivi yang diulang berulang kali.
***
Dua minggu setelah ujian akhir sekolah, dan lebih dari seminggu aku tidak pernah melihatmu disekolah, tidak pernah melihat Doni menjemputmu, lagi. Aku rindu, walau hanya memandangimu dari jauh, tapi aku rindu suasana dimana hatiku damai juga bergejolak. Sensasi aneh yang hanya bisa aku dapatkan darimu.
Ahh...aku menyerah, akan aku temui dia!
Aku menatap gerbang sekolah yang ada dihadapanku, aku menunggu dia. Dia yang memang selalu dekat denganmu. Doni, dia keluar dengan motor matic-nya. Aku berdiri menghalangi jalannya. Aku tanyakan keberadaan dan keadaan dirimi, tapi dia diam menatapku tidak suka, memakiku sebentar, kemudian pergi. Setiap hari aku temui dia, meminta jawaban dari dia, seperti seorang pengemis yang tidak makan selama beberapa minggu.
Aku pergi kerumahmu, tapi saat sampai disana aku ingat, rumah itu kini dihuni oleh orang lain, dan aku tidak tahu kamu tinggal dimana. Ah...aku memang bodoh! Sangat bodoh!
Esoknya, aku datangi kelasmu, menanyakan keberadaan dan keadaanmu. Tapi, sebuah berita besar mengusik ketenanganku, membuat emosiku meledak. Berita bahwa setelah kamu mengikuti ujian akhir sekolah, kamu tidak pernah datang kesekolah, kamu sering terlihat di klub-klub malam, bermain dengan laki-laki hidung belang, dan yang paling membuatku meledak adalah berita kalau kamu...hamil diluar nikah, dan yang menghamilimu adalah...Doni, brengsek! Aku tinju dinding kelasmu saat aku mendengarnya. Aku kalap, aku pergi menemui Doni disekolahnya.
Aku hajar dia didepan teman-temannya, tapi kamu tahu? Dia diam tidak membalas setiap pukulanku, dia juga melarang teman-temannya untuk membantu. Dia hanya diam, menerima makian-makian dan pukulan-pukulan dariku. Tapi itu membuatku makin kesal, dia tidak menjawab semua pertanyaanku.
Aku bangkit dari atas tubuhnya yang aku pukuli, dia terlentang menatap langit dengan. Saat aku memunggungi, dia terkekeh pelan. Aku berbalik lagi, menatapnya berang, matanya masih menatap langit.
" Lo tau, Yan? Gue gak bakal pusing kalo yang dipikirin sama lo itu bener," Ucapnya dengan santai, semua temannya hanya duduk dibawah pohon, memandangi kearah kami berdua. kamu tahu, pertanyataan dia membuatku semakin tidak mengerti permasalahan sebenarnya.
Aku diam, mendengarkan semua cerita yang diceritakan oleh Doni mengenai dirimu. Dia, menceritakan tentang hidupmu, dia mengetahui semua tentang dirimu melebihi diriku, aku sangat tertinggal jauh olehnya.
Dia memberitahuku kalau kamu tidak hamil diluar nikah, semua gosip itu kamu sebarkan agar aku membenci dirimu. Agar aku dapat melupakanmu, tapi sebegitu besarkan keinginanmu untuk melupakanku? Dia juga memberitahuku, kalau selama ini kamu tinggal dengan keluarganya, orangtua Doni adalah sahabat orangtuamu. Saat mengetahui itu semua, sungguh aku telah mengutuk diriku sendiri beribu-ribu kali.
Doni berdiri sambil meringis, aku perhatikan wajahnya yang sudah tidak berbentuk. Dan tanpa seperkiraanku, dia meninju wajahku, membuatku terjengkang kebelakang.
" Itu gue kasih buat bales sakit hati Sya," Ucapnya dengan enteng, " Yo, gue anter lo ketemu sama Sya, tapi jangan kaget kalo dia gak mau ketemu sama lo, atau, benci sama lo, atau yang lebih parah...gak ngenalin lo," Sumpah, ucapan Doni membuatku takut sekaligus penasaran dengan kondisi dirimu, aku dan dia pergi dengan mobilnya, aku yang mengemudi karena pandangan dia buram setelah aku pukuli tadi.
Selama perjalanan, aku terus menebak-nebak kondisimu, sebegitu bencinyakah dirimu padaku, sehingga Doni bilang kamu tidak mau menemuiku, atau mengenaliku lagi.
Mobil yang aku bawa berhenti dirumah sakit.
" Don, apa sebegitu sakitnya gue pukulin sampe kerumah sakit? Gue..."
" Brisik lo! Pukulan lo mah kaga ada apa-apanya," Doni memotong ucapanku, dia keluar diikuti olehku, aku dan dia berjalan dengan dia memimpin didepan, tiba di sebuah kamar pasien dengan namamu tertera disana, aku langsung menatap Doni meminta penjelasan. Doni mengendikan kepalanya, saat membuka pintu, menyuruhku masuk setelah dirinya.
Disana, aku melihatmu sedang tertidur dengan jarum infus menancap pada tanganmu. Didalam, ada sepasang suami isteri, dari jas yang digunakan pria tua itu, aku bisa tahu kalau dia adalah seorang dokter.
" Ya ampun, Don, kamu kenapa babak belur begitu?" Wanita yang aku tebak adalah Ibu Doni memeriksa setiap inci wajah anaknya itu.
" Pa, Ma, gimana kondisi Sya?" Doni tidak menjawab pertanyaan Ibunya, dilihat dari kondisi mereka, terlihat jelas kalau mereka sangat menyayangimu. Doni mendekati mereka, berbicara pada mereka. Sedangkan aku memperhatikanmu dengan seksama.
" Yan," Doni memanggilku, membuatku melepaskan pandanganku darimu. Aku tahu itu isyarat agar aku mengikutinya dan Papanya.
Sampai diruangan Papa Doni, aku duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kerja Papanya. Sementara Doni sedang diobati oleh Papanya. Stelah selesai, Doni duduk dikursi yang berada disampingku. Sementara Papanya duduk di kursi kerjanya.
" Kondisi Sya makin buruk, ingatannya makin hari makin berkurang, fungsi syaraf geraknya sudah tidak berfungsi, Papa ragu kalau Sya akan selamat, Don," Ujar Papa Doni sambil menunduk putus asa. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa masih banyak yang tidak aku ketahui tentangmu? Ah, seseorang, siapa saja tolong jelaskan permasalahannya padaku!
Papa Doni keluar dari ruangannya, memberikan waktu pada anaknya untuk menjelaskan semuanya. Doni menghela nafas berat.
" Dia, akibat kecelakaan yang mengambil nyawa orangtuanya, Sya mengalami koma selama beberapa bulan, lalu dia sadar, tapi, kondisinya semakin buruk. Papa akhirnya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan pada tubuhnya, dan diketahui kalau benturan dikepalanya begitu keras dan berulang kali terjadi. Sehingga menyebabkan dia mengalami penurunan dalam mengingat dan menggerakkan tubuhnya," Aku diam tidak percaya, selama ini kemana saja aku sampai-sampai aku tidak mengetahui kondisimu yang buruk. Doni berdiri, lalu berjalan kearah belakangku, membuat aku dan dia saling memunggungi.
" Dia, dia mutusin lo, bukan karena dia udah gak tahan sama sikap lo, tapi karena dia gak mau bikin lo kecewa nantinya, bikin lo ngutuk diri lo sendiri karena gak tau kondisi pacarnya sendiri," Yah, aku sudah merasakannya, kekecewaan pada diriku sendiri yang begitu besar, mengutuk diriku sendiri sedemikian rupa.
" Dia nyebarin gosip-gosip tentang dia, buat bikin lo benci sama dia," Aku berdiri, berlari menuju ruanganmu. Aku buka pintu itu dengan satu hentakan. Kamu disana, duduk tenang dengan bersandarkan pada ranjang diangkat bagian pinggang keatas. Kamu diam memperhatikan langit dari jendela kamar rawatmu. Sampai aku berjalan mendekatimu, kamu baru sadar akan kehadiranku, kamu menatapku bingung.
Pipi itu kini menjadi cekung, aku yakin berat tubuhmu pastilah berkurang derastis. Sorot pandangmu yang biasanya lembut bersemangat, kini redup dan dingin. Bibirmu bergerak, mengucapkan sebuah pertanyaan yang membuatku tercengang.
" Kamu...siapa?" Pertanyaan yang membuatku berhenti bernafas selama beberapa detik, membuatku merasakan fungsi tubuhku mati untuk sesaat.
" Dia Tyan orang yang kamu sayangin, pacar kamu," Aku menoleh kebelakang, dan mendapati Doni sedang bersandar pada daun pintu yang tertutup. Kamu juga menatapnya dan menggumamkan namanya, lalu menatapku dengan senyumanmu. Melambaikan tanganmu, menyuruhku untuk mendekat. Aku mendekat, dan aku juga mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.
" Maaf, aku melupakanmu," Gumammu, saat aku sudah duduk dipinggir ranjang rawatmu. Kamu memelukku, menenggelamkan wajahmu didadaku. Aku merasakan kehangatan juga kedinginan secara bersamaan. Kehangatan karena aku bisa menyentuhmu lagi, dan kedinginan karena aku takut kehilanganmu, lagi. Aku belai rambutmu, hidungku menyesapi setiap bau tubuhmu, aku akan ingat bau ini selama hidupku.
Aku ingin meminta maaf padamu, tapi bibir ini tidak mampu untuk bergerak, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Hanya mataku yang mampu berucap dengan air mata. Aku menangisi kebodohan diriku sendiri.
" Ceritakan semua tentang kita, aku ingin mengingat semuanya," Pintamu, membuatku diam. Aku takut jika aku menceritakan semuanya, kamu akan kembali membenciku. Akhirnya, aku menceritakan hal-hal yang menurutku baik untukmu, baik agar kamu tidak membenciku.
***
Setiap hari setelahnya, aku selalu mejengukmu, melindungimu, menjagamu. Saat kamu sudah tidak berjalan, aku yang menjadi kakimu, saat tanganmu tidak bisa digerakkan, aku yang menjadi tanganmu. Aku menikmati detik demi detik yang aku lalui bersamamu. Menuurut Papa Doni, kondisimu semakin membaik. Dan itu membuatku sangat senang, dan berharap kamu akan selalu bersamaku.
Dan hari ini, kamu menyambutku seperti biasa. Dengan senyumanmu.
" Aku ingin pergi," Ucapmu, saat aku sudah berada disampingmu.
" Baiklah, kita..."
" Aku ingin pergi ke padang ilalang, tempat kamu nebak aku," Potongmu, aku menatapmu dengan pandangan heran. Aku berdebat denganmu, aku tidak mau membahayakan kondisimu! Tapi, aku mengalah kala kamu mendiamkanku, aku meminta izin pada Papa Doni, dokter yang menanganimu. Dan dengan usaha keras, akhirnya aku mendapatkan izin itu.
***
Aku membawamu ketempat itu dengan meminjam mobil Doni, kamu dengan kursi roda itu, aku mendorong kursi yang kamu duduki itu diantara ilalang-ilalang setinggi diriku. Kamu tertawa, tersenyum, seakan kamu akan baik-baik saja.
Sampai dipinggir sebuah sungai, aku berhenti mendorong kursi roda itu, kamu memintaku untuk membantumu duduk diatas rumput. Seharian itu, aku dan kamu seakan kembali kesatu tahun lalu, saat aku mendapatkanmu. Hingga senja datang.
" Tyan, puncak kebahagiaan seorang wanita itu adalah menikah," Ucapmu, membuatku menatapmu heran, kamu tetap menatap lurus kedepan, " Dan cinta Sya untuk Tyan adalah cinta yang singkat, dimana aku ingin menikahimu," Lanjutmu, membuatku menahan nafasku karena senang.
Kamu memelukku dari samping, lalu dengan kedua tangan yang kamu kalungkan keleherku, kamu menatapku dengan senyum itu. Aku juga menatapmu.
" Beberapa hari lalu, kamu menanyakan kenapa aku menyembunyikan semua ini darimu, kan?" Tanyanya, aku mengangguk mengiyakan. Air matamu turun.
" Karena, aku tahu, sangat sulit mengucapkan selamat tinggal sambil tersenyum untukmu, maka dari itu aku putuskan untuk menyembunyikan semuanya darimu," Jawabmu. Membuatku terbelalak.
" Kamu gak akan aku izinin ngucapin selamat tinggal..." Ucapanku terpotong, kamu...kamu memberikan ciuman pertamamu untukku, aku diam sampai kamu melepaskan ciuman itu. Aku melihatmu yang tertunduk didadaku. Memelukku.
" Selamat tinggal," Saat kamu mengucapkan kalimat perpisahan itu, aku tidak dapat merasakan hembusan nafasmu lagi, aku tidak merasakan degup jantungmu lagi, dan aku merasakan pelukan lenganmu pada.
" Jangan pergi...jangan pergi! Kumohon, jangan bercanda! Kembali..." Aku menangis sambil meraung kesakitan, melihatmu pergi lagi dari pelukanku. Apa aku memang tidak pernah pantas untukmu?
Selalu aku menyakiti dirimu, saat kamu membawakanku bekal ketika aku latihan basket. Masakanmu sendiri. Dan, saat kamu pergi untuk ekskul musik. Aku berikan nasi goreng spesial buatanmu pada teman-temanku. Yang menurut mereka, sangat enak. Saat kamu kembali, aku kembalikan kotak bekalmu, dan bilang kalau masakanmu enak sekali, padahal aku tak mencicipinya sedikitpun.
Aku menghela napas, sesal menghantui diriku. Aku sadar, aku mencintai kamu, aku sadar saat kamu sudah tak lagi menjadi kekasihku. Sebuah bola basket melayang kepadaku, aku tangkap. Aku menanggah, dan aku melihatmu disana. Berdiri diam menatapku. Aku tersenyum, dan senyum itu hilang kala aku berkedip, dan melihat Han berdiri ditempatmu tadi berdiri. Dia mengisyaratkanku, agar cepat ikut berlatih.
Selama berlatih aku tak mampu fokus pada latihan. Setiap detik, bayanganmu dengan Doni muncul dipikiranku, seperti siaran tivi yang diulang berulang kali.
***
Dua minggu setelah ujian akhir sekolah, dan lebih dari seminggu aku tidak pernah melihatmu disekolah, tidak pernah melihat Doni menjemputmu, lagi. Aku rindu, walau hanya memandangimu dari jauh, tapi aku rindu suasana dimana hatiku damai juga bergejolak. Sensasi aneh yang hanya bisa aku dapatkan darimu.
Ahh...aku menyerah, akan aku temui dia!
Aku menatap gerbang sekolah yang ada dihadapanku, aku menunggu dia. Dia yang memang selalu dekat denganmu. Doni, dia keluar dengan motor matic-nya. Aku berdiri menghalangi jalannya. Aku tanyakan keberadaan dan keadaan dirimi, tapi dia diam menatapku tidak suka, memakiku sebentar, kemudian pergi. Setiap hari aku temui dia, meminta jawaban dari dia, seperti seorang pengemis yang tidak makan selama beberapa minggu.
Aku pergi kerumahmu, tapi saat sampai disana aku ingat, rumah itu kini dihuni oleh orang lain, dan aku tidak tahu kamu tinggal dimana. Ah...aku memang bodoh! Sangat bodoh!
Esoknya, aku datangi kelasmu, menanyakan keberadaan dan keadaanmu. Tapi, sebuah berita besar mengusik ketenanganku, membuat emosiku meledak. Berita bahwa setelah kamu mengikuti ujian akhir sekolah, kamu tidak pernah datang kesekolah, kamu sering terlihat di klub-klub malam, bermain dengan laki-laki hidung belang, dan yang paling membuatku meledak adalah berita kalau kamu...hamil diluar nikah, dan yang menghamilimu adalah...Doni, brengsek! Aku tinju dinding kelasmu saat aku mendengarnya. Aku kalap, aku pergi menemui Doni disekolahnya.
Aku hajar dia didepan teman-temannya, tapi kamu tahu? Dia diam tidak membalas setiap pukulanku, dia juga melarang teman-temannya untuk membantu. Dia hanya diam, menerima makian-makian dan pukulan-pukulan dariku. Tapi itu membuatku makin kesal, dia tidak menjawab semua pertanyaanku.
Aku bangkit dari atas tubuhnya yang aku pukuli, dia terlentang menatap langit dengan. Saat aku memunggungi, dia terkekeh pelan. Aku berbalik lagi, menatapnya berang, matanya masih menatap langit.
" Lo tau, Yan? Gue gak bakal pusing kalo yang dipikirin sama lo itu bener," Ucapnya dengan santai, semua temannya hanya duduk dibawah pohon, memandangi kearah kami berdua. kamu tahu, pertanyataan dia membuatku semakin tidak mengerti permasalahan sebenarnya.
Aku diam, mendengarkan semua cerita yang diceritakan oleh Doni mengenai dirimu. Dia, menceritakan tentang hidupmu, dia mengetahui semua tentang dirimu melebihi diriku, aku sangat tertinggal jauh olehnya.
Dia memberitahuku kalau kamu tidak hamil diluar nikah, semua gosip itu kamu sebarkan agar aku membenci dirimu. Agar aku dapat melupakanmu, tapi sebegitu besarkan keinginanmu untuk melupakanku? Dia juga memberitahuku, kalau selama ini kamu tinggal dengan keluarganya, orangtua Doni adalah sahabat orangtuamu. Saat mengetahui itu semua, sungguh aku telah mengutuk diriku sendiri beribu-ribu kali.
Doni berdiri sambil meringis, aku perhatikan wajahnya yang sudah tidak berbentuk. Dan tanpa seperkiraanku, dia meninju wajahku, membuatku terjengkang kebelakang.
" Itu gue kasih buat bales sakit hati Sya," Ucapnya dengan enteng, " Yo, gue anter lo ketemu sama Sya, tapi jangan kaget kalo dia gak mau ketemu sama lo, atau, benci sama lo, atau yang lebih parah...gak ngenalin lo," Sumpah, ucapan Doni membuatku takut sekaligus penasaran dengan kondisi dirimu, aku dan dia pergi dengan mobilnya, aku yang mengemudi karena pandangan dia buram setelah aku pukuli tadi.
Selama perjalanan, aku terus menebak-nebak kondisimu, sebegitu bencinyakah dirimu padaku, sehingga Doni bilang kamu tidak mau menemuiku, atau mengenaliku lagi.
Mobil yang aku bawa berhenti dirumah sakit.
" Don, apa sebegitu sakitnya gue pukulin sampe kerumah sakit? Gue..."
" Brisik lo! Pukulan lo mah kaga ada apa-apanya," Doni memotong ucapanku, dia keluar diikuti olehku, aku dan dia berjalan dengan dia memimpin didepan, tiba di sebuah kamar pasien dengan namamu tertera disana, aku langsung menatap Doni meminta penjelasan. Doni mengendikan kepalanya, saat membuka pintu, menyuruhku masuk setelah dirinya.
Disana, aku melihatmu sedang tertidur dengan jarum infus menancap pada tanganmu. Didalam, ada sepasang suami isteri, dari jas yang digunakan pria tua itu, aku bisa tahu kalau dia adalah seorang dokter.
" Ya ampun, Don, kamu kenapa babak belur begitu?" Wanita yang aku tebak adalah Ibu Doni memeriksa setiap inci wajah anaknya itu.
" Pa, Ma, gimana kondisi Sya?" Doni tidak menjawab pertanyaan Ibunya, dilihat dari kondisi mereka, terlihat jelas kalau mereka sangat menyayangimu. Doni mendekati mereka, berbicara pada mereka. Sedangkan aku memperhatikanmu dengan seksama.
" Yan," Doni memanggilku, membuatku melepaskan pandanganku darimu. Aku tahu itu isyarat agar aku mengikutinya dan Papanya.
Sampai diruangan Papa Doni, aku duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kerja Papanya. Sementara Doni sedang diobati oleh Papanya. Stelah selesai, Doni duduk dikursi yang berada disampingku. Sementara Papanya duduk di kursi kerjanya.
" Kondisi Sya makin buruk, ingatannya makin hari makin berkurang, fungsi syaraf geraknya sudah tidak berfungsi, Papa ragu kalau Sya akan selamat, Don," Ujar Papa Doni sambil menunduk putus asa. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa masih banyak yang tidak aku ketahui tentangmu? Ah, seseorang, siapa saja tolong jelaskan permasalahannya padaku!
Papa Doni keluar dari ruangannya, memberikan waktu pada anaknya untuk menjelaskan semuanya. Doni menghela nafas berat.
" Dia, akibat kecelakaan yang mengambil nyawa orangtuanya, Sya mengalami koma selama beberapa bulan, lalu dia sadar, tapi, kondisinya semakin buruk. Papa akhirnya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan pada tubuhnya, dan diketahui kalau benturan dikepalanya begitu keras dan berulang kali terjadi. Sehingga menyebabkan dia mengalami penurunan dalam mengingat dan menggerakkan tubuhnya," Aku diam tidak percaya, selama ini kemana saja aku sampai-sampai aku tidak mengetahui kondisimu yang buruk. Doni berdiri, lalu berjalan kearah belakangku, membuat aku dan dia saling memunggungi.
" Dia, dia mutusin lo, bukan karena dia udah gak tahan sama sikap lo, tapi karena dia gak mau bikin lo kecewa nantinya, bikin lo ngutuk diri lo sendiri karena gak tau kondisi pacarnya sendiri," Yah, aku sudah merasakannya, kekecewaan pada diriku sendiri yang begitu besar, mengutuk diriku sendiri sedemikian rupa.
" Dia nyebarin gosip-gosip tentang dia, buat bikin lo benci sama dia," Aku berdiri, berlari menuju ruanganmu. Aku buka pintu itu dengan satu hentakan. Kamu disana, duduk tenang dengan bersandarkan pada ranjang diangkat bagian pinggang keatas. Kamu diam memperhatikan langit dari jendela kamar rawatmu. Sampai aku berjalan mendekatimu, kamu baru sadar akan kehadiranku, kamu menatapku bingung.
Pipi itu kini menjadi cekung, aku yakin berat tubuhmu pastilah berkurang derastis. Sorot pandangmu yang biasanya lembut bersemangat, kini redup dan dingin. Bibirmu bergerak, mengucapkan sebuah pertanyaan yang membuatku tercengang.
" Kamu...siapa?" Pertanyaan yang membuatku berhenti bernafas selama beberapa detik, membuatku merasakan fungsi tubuhku mati untuk sesaat.
" Dia Tyan orang yang kamu sayangin, pacar kamu," Aku menoleh kebelakang, dan mendapati Doni sedang bersandar pada daun pintu yang tertutup. Kamu juga menatapnya dan menggumamkan namanya, lalu menatapku dengan senyumanmu. Melambaikan tanganmu, menyuruhku untuk mendekat. Aku mendekat, dan aku juga mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.
" Maaf, aku melupakanmu," Gumammu, saat aku sudah duduk dipinggir ranjang rawatmu. Kamu memelukku, menenggelamkan wajahmu didadaku. Aku merasakan kehangatan juga kedinginan secara bersamaan. Kehangatan karena aku bisa menyentuhmu lagi, dan kedinginan karena aku takut kehilanganmu, lagi. Aku belai rambutmu, hidungku menyesapi setiap bau tubuhmu, aku akan ingat bau ini selama hidupku.
Aku ingin meminta maaf padamu, tapi bibir ini tidak mampu untuk bergerak, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Hanya mataku yang mampu berucap dengan air mata. Aku menangisi kebodohan diriku sendiri.
" Ceritakan semua tentang kita, aku ingin mengingat semuanya," Pintamu, membuatku diam. Aku takut jika aku menceritakan semuanya, kamu akan kembali membenciku. Akhirnya, aku menceritakan hal-hal yang menurutku baik untukmu, baik agar kamu tidak membenciku.
***
Setiap hari setelahnya, aku selalu mejengukmu, melindungimu, menjagamu. Saat kamu sudah tidak berjalan, aku yang menjadi kakimu, saat tanganmu tidak bisa digerakkan, aku yang menjadi tanganmu. Aku menikmati detik demi detik yang aku lalui bersamamu. Menuurut Papa Doni, kondisimu semakin membaik. Dan itu membuatku sangat senang, dan berharap kamu akan selalu bersamaku.
Dan hari ini, kamu menyambutku seperti biasa. Dengan senyumanmu.
" Aku ingin pergi," Ucapmu, saat aku sudah berada disampingmu.
" Baiklah, kita..."
" Aku ingin pergi ke padang ilalang, tempat kamu nebak aku," Potongmu, aku menatapmu dengan pandangan heran. Aku berdebat denganmu, aku tidak mau membahayakan kondisimu! Tapi, aku mengalah kala kamu mendiamkanku, aku meminta izin pada Papa Doni, dokter yang menanganimu. Dan dengan usaha keras, akhirnya aku mendapatkan izin itu.
***
Aku membawamu ketempat itu dengan meminjam mobil Doni, kamu dengan kursi roda itu, aku mendorong kursi yang kamu duduki itu diantara ilalang-ilalang setinggi diriku. Kamu tertawa, tersenyum, seakan kamu akan baik-baik saja.
Sampai dipinggir sebuah sungai, aku berhenti mendorong kursi roda itu, kamu memintaku untuk membantumu duduk diatas rumput. Seharian itu, aku dan kamu seakan kembali kesatu tahun lalu, saat aku mendapatkanmu. Hingga senja datang.
" Tyan, puncak kebahagiaan seorang wanita itu adalah menikah," Ucapmu, membuatku menatapmu heran, kamu tetap menatap lurus kedepan, " Dan cinta Sya untuk Tyan adalah cinta yang singkat, dimana aku ingin menikahimu," Lanjutmu, membuatku menahan nafasku karena senang.
Kamu memelukku dari samping, lalu dengan kedua tangan yang kamu kalungkan keleherku, kamu menatapku dengan senyum itu. Aku juga menatapmu.
" Beberapa hari lalu, kamu menanyakan kenapa aku menyembunyikan semua ini darimu, kan?" Tanyanya, aku mengangguk mengiyakan. Air matamu turun.
" Karena, aku tahu, sangat sulit mengucapkan selamat tinggal sambil tersenyum untukmu, maka dari itu aku putuskan untuk menyembunyikan semuanya darimu," Jawabmu. Membuatku terbelalak.
" Kamu gak akan aku izinin ngucapin selamat tinggal..." Ucapanku terpotong, kamu...kamu memberikan ciuman pertamamu untukku, aku diam sampai kamu melepaskan ciuman itu. Aku melihatmu yang tertunduk didadaku. Memelukku.
" Selamat tinggal," Saat kamu mengucapkan kalimat perpisahan itu, aku tidak dapat merasakan hembusan nafasmu lagi, aku tidak merasakan degup jantungmu lagi, dan aku merasakan pelukan lenganmu pada.
" Jangan pergi...jangan pergi! Kumohon, jangan bercanda! Kembali..." Aku menangis sambil meraung kesakitan, melihatmu pergi lagi dari pelukanku. Apa aku memang tidak pernah pantas untukmu?