Terbayang dengan jelas, saat pertama kali aku memperhatikanmu dengan intens, aku yang saat itu baru saja keluar dari toko kaset melihatmu yang juga baru keluar dari toko roti dengan membawa dua buah plastik berisi roti. Tadinya aku kira, semua roti itu untukmu dan teman-temanmu. Namun aku salah, setelah aku mengikutimu secara diam-diam, aku tau kalau semua roti itu kau berikan kepada anan-anak jalanan, pengemis, pemulung, dan pengamen. Aku terus membuntutimu sampai semua roti itu habis.
Dan aku yang membuntutimu, memberanikan diri untuk mendekatimu. Walau kita satu sekolah, aku enggan mendekatimu, bukan karena kau bodoh, jelek, atau miskin. Justru karena sebaliknya. Banyak teman-temanku yang mengagumimu, membicarakanmu. Walau awalnya aku tak percaya kau sesempurna itu, namun kini aku percaya, sangat percaya. Langkahku terhenti saat aku melihat ada dua orang anak laki-laki dan perempuan mendekatimu, meminta roti yang kau bagikan. Tapi, roti itu telah habis, dan kau membawa mereka kesebuah restaurant didekat sana. Aku terus mendekati, dan memberanikan diri ikut bergabung. Dari sanalah, kita mulai dekat.
Aku bangun dari tempat tidurku, berjalan dan berhenti didepan jendela kamarku. Aku memandang hujan dari jendela kamarku, pikiranku terbang kekenanganku denganmu, lagi. Flashback. Saat dimana aku masih melihatmu tertawa dan tersenyum untukku. Saat dimana kau marah dan ngedumel dibelakangku. Takkan pernah aku bisa melihatnya lagi. Merasakan perhatianmu, kekhawatiranmu, kejutanmu, yang selalu kau berikan untukku, dulu, tidak untuk sekarang atau untuk nanti. Dan, tanpa permisi. Bayanganmu denganku muncul dihalaman belakang rumahku, tempat yang menjadi objek pandangku saat ini.
Aku masih ingat, kejadian apa yang kini seakan terulang lagi didepan mata. Seperti siaran ulang. Kau yang sedang memijiti kakiku yang terkilir karena bermain futsal. Sambil memijit kakiku, kau juga menasehatiku agar berhati-hati. Aku mengiyakan, sambil mengacak-acak puncak rambutmu yang terurai indah. Lalu kau pergi sambil mayun dan ngedumel, dan kembali dengan dua botol minuman. Dihiasi senyummu yang manis, bukan cemberutanmu yang tadi kau pasang.
Dan aku yang membuntutimu, memberanikan diri untuk mendekatimu. Walau kita satu sekolah, aku enggan mendekatimu, bukan karena kau bodoh, jelek, atau miskin. Justru karena sebaliknya. Banyak teman-temanku yang mengagumimu, membicarakanmu. Walau awalnya aku tak percaya kau sesempurna itu, namun kini aku percaya, sangat percaya. Langkahku terhenti saat aku melihat ada dua orang anak laki-laki dan perempuan mendekatimu, meminta roti yang kau bagikan. Tapi, roti itu telah habis, dan kau membawa mereka kesebuah restaurant didekat sana. Aku terus mendekati, dan memberanikan diri ikut bergabung. Dari sanalah, kita mulai dekat.
Aku bangun dari tempat tidurku, berjalan dan berhenti didepan jendela kamarku. Aku memandang hujan dari jendela kamarku, pikiranku terbang kekenanganku denganmu, lagi. Flashback. Saat dimana aku masih melihatmu tertawa dan tersenyum untukku. Saat dimana kau marah dan ngedumel dibelakangku. Takkan pernah aku bisa melihatnya lagi. Merasakan perhatianmu, kekhawatiranmu, kejutanmu, yang selalu kau berikan untukku, dulu, tidak untuk sekarang atau untuk nanti. Dan, tanpa permisi. Bayanganmu denganku muncul dihalaman belakang rumahku, tempat yang menjadi objek pandangku saat ini.
Aku masih ingat, kejadian apa yang kini seakan terulang lagi didepan mata. Seperti siaran ulang. Kau yang sedang memijiti kakiku yang terkilir karena bermain futsal. Sambil memijit kakiku, kau juga menasehatiku agar berhati-hati. Aku mengiyakan, sambil mengacak-acak puncak rambutmu yang terurai indah. Lalu kau pergi sambil mayun dan ngedumel, dan kembali dengan dua botol minuman. Dihiasi senyummu yang manis, bukan cemberutanmu yang tadi kau pasang.
Aku menghela nafas, menghapus embun di kaca jendela. Bersamaan dengan itu, bayangan kita hilang.
Aku ingat, sangat mengingatnya dengan jelas. Saat pertama kali aku kenalkan kau pada kedua orang tuaku. Saat itu, Mamaku sedang sakit, dan Papaku sedang dinas di luar kota. Aku tak tau, jika saat itu adalah saat yang sangat tidak tepat untuk mengenalkanmu pada orangtuaku. Tapi, kau malah merawat Mamaku seperti kau merawat Mamamu sendiri. Kau kerjakan semua pekerjaan rumah yang belum diselesaikan Mamaku. Kau rela pulang malam demi merawat Mamaku. Kau memang pandai meminta restu orangtuaku.
Aku beruntung mendapatkan perempuan sepertimu. Banyak yang menginginkanmu, namun kau malah memilihku. Aku beruntung, iya, sangat beruntung. Kau sabar menghadapi sikapku yang keras kepala, egois, dan jarang memberikanmu kenyamanan. Bahkan, saat aku tak memberikan kabar selama berbulan-bulan, kau tetap bertahan, tetap setia. Kau abaikan semua pria yang mendekatimu, yang ingin menggantikan posisiku. Atau lebih tepatnya memperbaiki posisiku.
Aku berjalan keluar kamar, di ruang tamu, aku berhenti. Mamaku masih menangis sesenggukan sambil memandangi fotomu, dan juga menyebut-nyebut namumu, seakan-akan dengan Mama melakukan itu, kau akan kembali ke pelukanku dan pelukan keluargaku. Papa juga ada disana, mencoba menenangkan Mama. Aku tahu, sulit untuk Mamaku mengikhlaskanmu pergi tanpa pamit. Kau sudah terlalu dekat dengannya, juga dengan keluargaku. Untuk beberapa menit aku terdiam, memandang sebuah bayangan. Bayanganmu yang sedang duduk di sofa berdampingan denganku, meributkan masalah sepele. Aku masih ingat, masalahnya adalah aku dan kamu mendebatkan soal klub bola favorit kita, Manchester United. Akhirnya kamu yang mengalah, walau dengan menggerutu. Lagi-lagi aku tersunyum.
Aku kembali berjalan, didepan meja makan aku berhenti. Mengambil minum. Lagi, bayanganmu denganku muncul. Kali ini, aku sedang duduk, memperhatikanmu yang tengah sibuk menata meja makan. Kejadian ini, sudah sangat lama. Saat pertama kali aku membawamu kerumahku. Kau sibuk menyiapkan makan malam untukku dan Papa. Sedangkan untuk Mama, kau buatkan bubur spesial untuknya. Bayanganmu kini berjalan ke arah dapur, sedangkan bayanganku sudah tak ada. Aku mengikuti bayanganmu. Di dapur, kembali aku melihatmu dengan bayanganku sedang membuat kue. Lebih tepatnya pastry. Saat kenangan ini terjadi, aku ingat kau sedang menyukai pastry. Dan selalu membuatnya. Aku lah orang pertama yang selalu kau suruh untuk mencicipi dan mengomentarinya.
Bayanganmu menghilang, saat aku hendak membelaimu. Mungkin, Tuhan tak mengizinkanku membelai orang yang telah aku sakiti. Orang yang telah memberikan kebahagian untukku namun, aku balas dengan kesedihan untukmu. Aku menghela nafas, tanganku masih diudara, berharap kau ada disana dan aku dapat membelaimu. Seperti dulu.
HP ku bergetar, menyadarkanku dari lamunan akan dirimu. Temanku mengirimiku pesan singkat, menyuruhku untuk kesekolah. Aku pun memutuskan untuk pergi kesana, dengan harapan akan mendapat hiburan dari teman-temanku.
Aku membawa motor sportku membelah jalanan di kota tempat aku dan kau bertemu. Rasanya disetiap aku melirik ketepi jalan, aku melihatmu disana, melakukan aktifitas seperti biasanya. Saat di pertigaan, lampu merah menghentikan laju motorku. Aku melihat ke arah sebuah mobil sedan yang berhenti tepat disampingku. Mengingatkanku akan satu lagi kenangan kita, di sini, tepat dipertigaan ini.
Saat itu, aku dan kau hendak pergi kesebuah mall, untuk menonton film yang sudah lama kau tunggu-tunggu. Senyum tak bosan-bosannya menghiasi wajahmu. Sampai, seorang temanku menelponku, dan menyuruhku untuk ikut bermain futsal melawan SMA yang sudah menjadi rival terberat SMA kami. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakannya. Mengatakan itu padamu, ternyata membuat senyummu lutur. Lantas kau, mengajukan untuk pergi nonton film sendiri. Namun, aku melarangnya. Karena aku takut, takut jika ada seorang pria yang menemanimu menonton film yang kau dambakan. Tidak, aku tidak memberikan alasan itu saat melarangmu. Aku terlalu gengsi untuk mengatakannya. Awalnya kau terlihat sangat marah, tapi kau malah menuruti kemauanku dengan senyum manis itu lagi, kau memang pandai menyembunyikan emosi, kekecewaan, dan kesedihanmu dihadapanku. Aku memang egois, aku akui itu. Aku sadari itu, aku sadari saat kau tidak bersamaku lagi.
Suara klakson mobil dibelakangku, menyadarkanku dari lamunan. Lampu hijau. Aku kembali laju motorku, menuju sekolah.
Kini, aku berdiri dipinggir lapangan futsal. Teman-temanku sedang berlatih ekskul futsal. Mereka memaklumi jika aku belum bisa ikut berlatih, namun mereka bilang setidaknya aku tidak tenggelam semakin dalam, dalam kesedihan. Aku tahu, mereka paling mengerti aku, setelah kau dan orangtuaku. Namun, kini hanya orangtuaku dan mereka, tidak ada kau.
Aku kembali melihat bayangan masalalu kita. Kau berdiri tepat disebrang lapangan, memegang sebotol air mineral. Bayanganku mendekatimu dengan bersimbah keringat. Kau memberikan air itu padaku. Kau dan aku kemudian berbincang-bincang dibawah pohon, sambil duduk, kau menghapus keringat diwajahku.
Aku menghela nafas. Aku memutuskan untuk memasuki sekolah lebih dalam. Duduk disebuah bangku taman yang terletak tepat ditengah-tengah 11 IPA 1 dan 11 IPS 1, kelas kau dan aku, atau tapatnya di depan kelas 11 IPA 3. Sesaat aku dapat merasakan, jika kau duduk disampingku. Aku ingin menoleh, melepas rinduku padamu, namun aku urungkan niatku itu. Aku takut, jika aku menoleh, aku tak mendapatimu disampingku.
Aku melihat sebuah film yang dibintangi olehku dan kau, tepat dihadapanku, sekarang ini. Saat kau memelukku yang sedang duduk dari belakang. Kau menarikku sambil merengek ditemani makan dikantin. Aku tersenyum melihat kenangan itu lagi.
Kembali, sebuah film masalalu kita berputar dihadapanku, berbeda dengan yang tadi. Masalalu, saat kau untuk pertama kalinya menghindariku. Memperlihatkan air matamu didepanku.
Saat itu, istirahat. Aku duduk berbincang dengan temanku didepan kelas. Temanku menyuruhku untuk memutuskanmu, dan kembali dengan mantanku. Aku menanggapinya sebagai lelucuan. Jadi, aku hanya mengangguk sambil bilang 'iye, gue juga udah bosen. hahaa' dengan maksud bercanda. Tapi, ternyata kau ada dibelakangku. Kau memberikan flashdisk-ku yang kau pinjam untuk presentasi. Lalu kembali ke kelasmu. Awalnya aku tak sadar jika kau marah. Saat istirahat kedua, aku melihat kau didepan kelas sedang berbicara dengan seorang guru. Aku mendekatimu, kau melihatku setelah selesai bicara dengan guru itu. Kau langsung masuk kedalam kelas. Tetap aku melangkah. Di kelasmu, aku menanyakan dimana kau? Namun, temanmu menjawab jika kau sedang keluar kelas. Disitulah aku sadar, jika kau marah padaku.
Aku memaksa untuk mencarimu dikelas itu, tapi teman-temanmu menghalangiku. Sampai bel masuk, aku baru kembali ke kelasku.
Pulang. Sial. Kelasku pulang paling akhir, karena gurunya betah dikelasku. Sehingga saat aku tiba dikelasmu, kelasmu sudah kosong, hanya ada beberapa murid yang menjalankan kewajiban mereka. Piket.
Aku duduk didepan kelasmu, selama beberapa menit. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk pulang. Baru saja aku berdiri, kau muncul dari ruang guru. Senyum lega menghiasi wajahku. Aku mendekatimu. Tapi, kau menghindariku. Aku terus mengikutimu, sampai diparkiran. Kau berheti dan melihatku dengan air mata yang mengalir. Aku tak kuat melihatnya, melihatmu dengan air mata kesedihan itu. Aku peluk kau disana. Kau memang baik, hanya dengan memelukmu saja, kau sudah mau memaafkanku. Iya memaafkan, tidak untuk melupakan. Buktinya saja, kau masih jutek jika aku tanya, saat itu.
Aku menghela nafas, lagi. Kulirik sampingku, dan benar. Kau tak ada disana.
Aku putuskan untuk pergi dari sekolah saat ini. Aku berdiri dalam diam di tengah hamparan padang ilalang. Tempat aku mengutarakan perasaanku padamu, saat itu kau baru saja menjadi juara umum lomba photografer. Dengan alasan itu, aku membawamu kesini pada malam hari. Aku persembahkan hamparan bintang dan hamparan ilalang sebagai saksi bersatunya kita. Dan sekaligus menjadi tempat pertama kali kita kencan. Ya... Piknik. Kau memang berbeda dari semua perempuan. Kebanyakan perempuan ingin kencan pertamanya di restaurant mewah, atau mall. Sedangkan kau? Kau memilih untuk piknik berdua denganku. Disini. Aku terdiam, ilalang disekitarku terasa bergerak. Kau, kau kembali hadir dalam bayanganku. Kau berlari, sedangkan bayanganku mengejarmu. Iya...aku ingat, itu saat kau memotretku ketika aku sedang bengong, dan hasilnya sangat mengecewakan.
Sekali lagi, aku merasakan kau ada disampingku, memeluk erat tanganku. Seperti, kau juga melihat apa yang aku lihat.
HP-ku bergetar. SMS dari temanku, yang berisi, aku harus kembali kesekolah, karena akan ada rapat anak futsal. Dengan enggan aku kembali kesekolah.
Aku berdiri disamping motorku, di depan gerbang sekolah. Bayangan itu lagi! Kenapa disetiap tempat yang aku datangi, selalu ada kenangan bersamamu? Apa kau ingin mengingatkanku? Tapi, tolong, jangan kau ingatkan aku tentang kejadian yang ini. Kumohon.
Tidak, kau tidak membiarkanku hidup tenang, aku tahu. Karna aku pantas mendapatkannya.
Aku melihat, seperti siaran ulang yang sangat jelas. Aku melihat, cerminan diriku yang sedang memeluk seorang perempuan. Iya aku tahu, itu bukan kau. Itu mantanku. Aku berselingkuh dengannya. Aku memang rakus, aku tak tahu diri. Aku sudah mendapatkan kau yang mampu menyempurnakan hidupku. Tapi, aku malah mencari yang lain saat aku masih bersamamu. Dan kau, kau melihatnya, kau melihat aku berpelukan dengan mantanku.
Kau berjalan menjauh, aku panggil pun kau tak menoleh atau berhenti. Aku tau kau menangis. Kau terus saja menjauh. Sampai pada akhirnya, aku berhasil berada disampingmu, namun disaat aku berada disampingmu, aku tau akan kehilanganmu, untuk selamanya. Kau, tertidur dengan manis ditengah jalan raya, wajahmu tetap cantik. Tak ada darah sedikit pun yang mengalir dari tubuhmu. Kau belum mati, aku tahu. Karna kau membalas genggaman tanganku walau lemah.
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku kendarai lagi motorku dengan kecepatan tinggi. Aku ingin menemuimu, meminta maaf, aku menyesal. Sungguh menyesal telah mengabaikanmu dulu. Aku ingin kau berdiri disetiap langkahku lagi. Aku merindukanmu. Aku ingin memelukmu. Aku ingin mengubah sikapku. Aku ingin membuatmu nyaman berada didekatku. Kumohon, kembali lah...
Aku berdiri disamping gundukan tanah yang masih bertabur bunga-bunga segar. Kau, kau meninggalkanku setelah kau menggengam tanganku cukup lama. Meninggalkanku untuk selamanya. Aku menatap nisan bertuliskan namamu. Air mataku sudah tak terbendung.
Kenapa aku harus merasa takut kehilangan disaat aku sudah kehilangan?
Aku menggumamkan permintaan maaf berulang-ulang. Walau aku tahu, aku sudah terlambat. Aku menyesal. Aku memang salah. Secara tidak langsung, penyebab kematianmu adalah aku. Aku bodoh, aku memang bodoh. Aku tak bisa menghargaimu, aku tak bisa menjagamu, aku tak bisa membuatmu bahagia. Tapi, aku juga tak mau melepasmu. Tangisku semakin menjadi, kala semua kenangan kita berputar lagi dibenakku.
Aku menghapus air mata yang bergulir dari mataku.
" Hai sayang, maaf aku baru menengokmu. Aku gak kuat melihat kamu pergi untuk selamanya. Hmm... Tadi hujan ya, deras banget. Mungkin, semesta juga masih sedih akan kepergianmu, disana hujan ya? Kamu kedinginan ya disana? Aku juga kedinginan gak ada kamu disini... Aku kangen kamu, aku kangen semua yang ada sama kamu, sikap kamu, manjanya kamu, semuanya. Everything about you, i miss you" Aku tak kuasa menahan air mataku, semuanya tumpah saat aku memeluk nisanmu.
Aku merasakan, kau memelukku juga dari belakang. Aku takut jika aku menoleh, aku tak mendapatimu disini. Namun, aku menoleh juga dengan ragu. Kali ini, aku melihatmu. Aku bangkit dari dudukku. Kau terlihat sangat cantik dengan dress lengan panjang berwarna putih bersih. Wajahmu bersinar, rambut indahmu terurai, senyum itu, senyum yang aku rindukan melekat diwajahmu.
Tanganmu bergerak, menghapus air mataku. Aku tak mau berkedip, takut jika aku berkedip dan saat melihatmu, kau sudah tak ada dihadapanku.
" Jangan pergi, kumohon. Maafkan aku, aku memang salah. Aku gak mau kamu jauh dari aku. Mama sama Papa juga ga mau kamu pergi. Aku memang bodoh, tapi aku janji, aku bakal berubah demi kamu. Pliss...Jangan pergi, jangan tinggalin aku sendirian. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, gak ada yang bisa gantiin kamu dihidupku. Banyak yang sedih kalo kamu pergi, jangan pergi, biar aku aja yang pergi," Aku terus bicara dengan suara serak. Sampai kau menggeleng dengan senyummu itu. Aku diam. menunggu tanggapanmu.
" Kamu gak perlu minta maaf, kamu gak salah. Aku yang salah, udah bikin kamu jenuh sama aku, sampai akhirnya kamu selingkuh," Bodoh, kenapa kau jadi bodoh seperti ini? Kau masih saja menyalahkan dirimu sendiri? Aku yang salah, bukan kamu!
" Aku juga sayang sama kamu, cinta sama kamu. Aku gak pernah jauh dari kamu kok. Aku selalu ada disamping kamu, menemani setiap langkah dihidupmu. Dan aku selalu ada disini, dihati kamu," Kau menyentuh dadaku. Aku genggam telapak tanganmu yang menyentuh dadaku. Agar aku bisa menahanmu jika kau pergi lagi.
" Jangan siksa hidupmu sendiri, Sayang. Aku ingin kamu bahagia. Aku selalu ada dihati setiap orang yang menyayangiku," Aku diam. Menatap matamu yang berbinar, dalam. Aku memejamkan mataku, meresapi sentuhan tanganmu didadaku. Sampai aku sadar, bahwa tanganmu sudah tak ada digenggamanku, lagi.
Aku ingat, sangat mengingatnya dengan jelas. Saat pertama kali aku kenalkan kau pada kedua orang tuaku. Saat itu, Mamaku sedang sakit, dan Papaku sedang dinas di luar kota. Aku tak tau, jika saat itu adalah saat yang sangat tidak tepat untuk mengenalkanmu pada orangtuaku. Tapi, kau malah merawat Mamaku seperti kau merawat Mamamu sendiri. Kau kerjakan semua pekerjaan rumah yang belum diselesaikan Mamaku. Kau rela pulang malam demi merawat Mamaku. Kau memang pandai meminta restu orangtuaku.
Aku beruntung mendapatkan perempuan sepertimu. Banyak yang menginginkanmu, namun kau malah memilihku. Aku beruntung, iya, sangat beruntung. Kau sabar menghadapi sikapku yang keras kepala, egois, dan jarang memberikanmu kenyamanan. Bahkan, saat aku tak memberikan kabar selama berbulan-bulan, kau tetap bertahan, tetap setia. Kau abaikan semua pria yang mendekatimu, yang ingin menggantikan posisiku. Atau lebih tepatnya memperbaiki posisiku.
Aku berjalan keluar kamar, di ruang tamu, aku berhenti. Mamaku masih menangis sesenggukan sambil memandangi fotomu, dan juga menyebut-nyebut namumu, seakan-akan dengan Mama melakukan itu, kau akan kembali ke pelukanku dan pelukan keluargaku. Papa juga ada disana, mencoba menenangkan Mama. Aku tahu, sulit untuk Mamaku mengikhlaskanmu pergi tanpa pamit. Kau sudah terlalu dekat dengannya, juga dengan keluargaku. Untuk beberapa menit aku terdiam, memandang sebuah bayangan. Bayanganmu yang sedang duduk di sofa berdampingan denganku, meributkan masalah sepele. Aku masih ingat, masalahnya adalah aku dan kamu mendebatkan soal klub bola favorit kita, Manchester United. Akhirnya kamu yang mengalah, walau dengan menggerutu. Lagi-lagi aku tersunyum.
Aku kembali berjalan, didepan meja makan aku berhenti. Mengambil minum. Lagi, bayanganmu denganku muncul. Kali ini, aku sedang duduk, memperhatikanmu yang tengah sibuk menata meja makan. Kejadian ini, sudah sangat lama. Saat pertama kali aku membawamu kerumahku. Kau sibuk menyiapkan makan malam untukku dan Papa. Sedangkan untuk Mama, kau buatkan bubur spesial untuknya. Bayanganmu kini berjalan ke arah dapur, sedangkan bayanganku sudah tak ada. Aku mengikuti bayanganmu. Di dapur, kembali aku melihatmu dengan bayanganku sedang membuat kue. Lebih tepatnya pastry. Saat kenangan ini terjadi, aku ingat kau sedang menyukai pastry. Dan selalu membuatnya. Aku lah orang pertama yang selalu kau suruh untuk mencicipi dan mengomentarinya.
Bayanganmu menghilang, saat aku hendak membelaimu. Mungkin, Tuhan tak mengizinkanku membelai orang yang telah aku sakiti. Orang yang telah memberikan kebahagian untukku namun, aku balas dengan kesedihan untukmu. Aku menghela nafas, tanganku masih diudara, berharap kau ada disana dan aku dapat membelaimu. Seperti dulu.
HP ku bergetar, menyadarkanku dari lamunan akan dirimu. Temanku mengirimiku pesan singkat, menyuruhku untuk kesekolah. Aku pun memutuskan untuk pergi kesana, dengan harapan akan mendapat hiburan dari teman-temanku.
Aku membawa motor sportku membelah jalanan di kota tempat aku dan kau bertemu. Rasanya disetiap aku melirik ketepi jalan, aku melihatmu disana, melakukan aktifitas seperti biasanya. Saat di pertigaan, lampu merah menghentikan laju motorku. Aku melihat ke arah sebuah mobil sedan yang berhenti tepat disampingku. Mengingatkanku akan satu lagi kenangan kita, di sini, tepat dipertigaan ini.
Saat itu, aku dan kau hendak pergi kesebuah mall, untuk menonton film yang sudah lama kau tunggu-tunggu. Senyum tak bosan-bosannya menghiasi wajahmu. Sampai, seorang temanku menelponku, dan menyuruhku untuk ikut bermain futsal melawan SMA yang sudah menjadi rival terberat SMA kami. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakannya. Mengatakan itu padamu, ternyata membuat senyummu lutur. Lantas kau, mengajukan untuk pergi nonton film sendiri. Namun, aku melarangnya. Karena aku takut, takut jika ada seorang pria yang menemanimu menonton film yang kau dambakan. Tidak, aku tidak memberikan alasan itu saat melarangmu. Aku terlalu gengsi untuk mengatakannya. Awalnya kau terlihat sangat marah, tapi kau malah menuruti kemauanku dengan senyum manis itu lagi, kau memang pandai menyembunyikan emosi, kekecewaan, dan kesedihanmu dihadapanku. Aku memang egois, aku akui itu. Aku sadari itu, aku sadari saat kau tidak bersamaku lagi.
Suara klakson mobil dibelakangku, menyadarkanku dari lamunan. Lampu hijau. Aku kembali laju motorku, menuju sekolah.
Kini, aku berdiri dipinggir lapangan futsal. Teman-temanku sedang berlatih ekskul futsal. Mereka memaklumi jika aku belum bisa ikut berlatih, namun mereka bilang setidaknya aku tidak tenggelam semakin dalam, dalam kesedihan. Aku tahu, mereka paling mengerti aku, setelah kau dan orangtuaku. Namun, kini hanya orangtuaku dan mereka, tidak ada kau.
Aku kembali melihat bayangan masalalu kita. Kau berdiri tepat disebrang lapangan, memegang sebotol air mineral. Bayanganku mendekatimu dengan bersimbah keringat. Kau memberikan air itu padaku. Kau dan aku kemudian berbincang-bincang dibawah pohon, sambil duduk, kau menghapus keringat diwajahku.
Aku menghela nafas. Aku memutuskan untuk memasuki sekolah lebih dalam. Duduk disebuah bangku taman yang terletak tepat ditengah-tengah 11 IPA 1 dan 11 IPS 1, kelas kau dan aku, atau tapatnya di depan kelas 11 IPA 3. Sesaat aku dapat merasakan, jika kau duduk disampingku. Aku ingin menoleh, melepas rinduku padamu, namun aku urungkan niatku itu. Aku takut, jika aku menoleh, aku tak mendapatimu disampingku.
Aku melihat sebuah film yang dibintangi olehku dan kau, tepat dihadapanku, sekarang ini. Saat kau memelukku yang sedang duduk dari belakang. Kau menarikku sambil merengek ditemani makan dikantin. Aku tersenyum melihat kenangan itu lagi.
Kembali, sebuah film masalalu kita berputar dihadapanku, berbeda dengan yang tadi. Masalalu, saat kau untuk pertama kalinya menghindariku. Memperlihatkan air matamu didepanku.
Saat itu, istirahat. Aku duduk berbincang dengan temanku didepan kelas. Temanku menyuruhku untuk memutuskanmu, dan kembali dengan mantanku. Aku menanggapinya sebagai lelucuan. Jadi, aku hanya mengangguk sambil bilang 'iye, gue juga udah bosen. hahaa' dengan maksud bercanda. Tapi, ternyata kau ada dibelakangku. Kau memberikan flashdisk-ku yang kau pinjam untuk presentasi. Lalu kembali ke kelasmu. Awalnya aku tak sadar jika kau marah. Saat istirahat kedua, aku melihat kau didepan kelas sedang berbicara dengan seorang guru. Aku mendekatimu, kau melihatku setelah selesai bicara dengan guru itu. Kau langsung masuk kedalam kelas. Tetap aku melangkah. Di kelasmu, aku menanyakan dimana kau? Namun, temanmu menjawab jika kau sedang keluar kelas. Disitulah aku sadar, jika kau marah padaku.
Aku memaksa untuk mencarimu dikelas itu, tapi teman-temanmu menghalangiku. Sampai bel masuk, aku baru kembali ke kelasku.
Pulang. Sial. Kelasku pulang paling akhir, karena gurunya betah dikelasku. Sehingga saat aku tiba dikelasmu, kelasmu sudah kosong, hanya ada beberapa murid yang menjalankan kewajiban mereka. Piket.
Aku duduk didepan kelasmu, selama beberapa menit. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk pulang. Baru saja aku berdiri, kau muncul dari ruang guru. Senyum lega menghiasi wajahku. Aku mendekatimu. Tapi, kau menghindariku. Aku terus mengikutimu, sampai diparkiran. Kau berheti dan melihatku dengan air mata yang mengalir. Aku tak kuat melihatnya, melihatmu dengan air mata kesedihan itu. Aku peluk kau disana. Kau memang baik, hanya dengan memelukmu saja, kau sudah mau memaafkanku. Iya memaafkan, tidak untuk melupakan. Buktinya saja, kau masih jutek jika aku tanya, saat itu.
Aku menghela nafas, lagi. Kulirik sampingku, dan benar. Kau tak ada disana.
Aku putuskan untuk pergi dari sekolah saat ini. Aku berdiri dalam diam di tengah hamparan padang ilalang. Tempat aku mengutarakan perasaanku padamu, saat itu kau baru saja menjadi juara umum lomba photografer. Dengan alasan itu, aku membawamu kesini pada malam hari. Aku persembahkan hamparan bintang dan hamparan ilalang sebagai saksi bersatunya kita. Dan sekaligus menjadi tempat pertama kali kita kencan. Ya... Piknik. Kau memang berbeda dari semua perempuan. Kebanyakan perempuan ingin kencan pertamanya di restaurant mewah, atau mall. Sedangkan kau? Kau memilih untuk piknik berdua denganku. Disini. Aku terdiam, ilalang disekitarku terasa bergerak. Kau, kau kembali hadir dalam bayanganku. Kau berlari, sedangkan bayanganku mengejarmu. Iya...aku ingat, itu saat kau memotretku ketika aku sedang bengong, dan hasilnya sangat mengecewakan.
Sekali lagi, aku merasakan kau ada disampingku, memeluk erat tanganku. Seperti, kau juga melihat apa yang aku lihat.
HP-ku bergetar. SMS dari temanku, yang berisi, aku harus kembali kesekolah, karena akan ada rapat anak futsal. Dengan enggan aku kembali kesekolah.
Aku berdiri disamping motorku, di depan gerbang sekolah. Bayangan itu lagi! Kenapa disetiap tempat yang aku datangi, selalu ada kenangan bersamamu? Apa kau ingin mengingatkanku? Tapi, tolong, jangan kau ingatkan aku tentang kejadian yang ini. Kumohon.
Tidak, kau tidak membiarkanku hidup tenang, aku tahu. Karna aku pantas mendapatkannya.
Aku melihat, seperti siaran ulang yang sangat jelas. Aku melihat, cerminan diriku yang sedang memeluk seorang perempuan. Iya aku tahu, itu bukan kau. Itu mantanku. Aku berselingkuh dengannya. Aku memang rakus, aku tak tahu diri. Aku sudah mendapatkan kau yang mampu menyempurnakan hidupku. Tapi, aku malah mencari yang lain saat aku masih bersamamu. Dan kau, kau melihatnya, kau melihat aku berpelukan dengan mantanku.
Kau berjalan menjauh, aku panggil pun kau tak menoleh atau berhenti. Aku tau kau menangis. Kau terus saja menjauh. Sampai pada akhirnya, aku berhasil berada disampingmu, namun disaat aku berada disampingmu, aku tau akan kehilanganmu, untuk selamanya. Kau, tertidur dengan manis ditengah jalan raya, wajahmu tetap cantik. Tak ada darah sedikit pun yang mengalir dari tubuhmu. Kau belum mati, aku tahu. Karna kau membalas genggaman tanganku walau lemah.
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku kendarai lagi motorku dengan kecepatan tinggi. Aku ingin menemuimu, meminta maaf, aku menyesal. Sungguh menyesal telah mengabaikanmu dulu. Aku ingin kau berdiri disetiap langkahku lagi. Aku merindukanmu. Aku ingin memelukmu. Aku ingin mengubah sikapku. Aku ingin membuatmu nyaman berada didekatku. Kumohon, kembali lah...
Aku berdiri disamping gundukan tanah yang masih bertabur bunga-bunga segar. Kau, kau meninggalkanku setelah kau menggengam tanganku cukup lama. Meninggalkanku untuk selamanya. Aku menatap nisan bertuliskan namamu. Air mataku sudah tak terbendung.
Kenapa aku harus merasa takut kehilangan disaat aku sudah kehilangan?
Aku menggumamkan permintaan maaf berulang-ulang. Walau aku tahu, aku sudah terlambat. Aku menyesal. Aku memang salah. Secara tidak langsung, penyebab kematianmu adalah aku. Aku bodoh, aku memang bodoh. Aku tak bisa menghargaimu, aku tak bisa menjagamu, aku tak bisa membuatmu bahagia. Tapi, aku juga tak mau melepasmu. Tangisku semakin menjadi, kala semua kenangan kita berputar lagi dibenakku.
Aku menghapus air mata yang bergulir dari mataku.
" Hai sayang, maaf aku baru menengokmu. Aku gak kuat melihat kamu pergi untuk selamanya. Hmm... Tadi hujan ya, deras banget. Mungkin, semesta juga masih sedih akan kepergianmu, disana hujan ya? Kamu kedinginan ya disana? Aku juga kedinginan gak ada kamu disini... Aku kangen kamu, aku kangen semua yang ada sama kamu, sikap kamu, manjanya kamu, semuanya. Everything about you, i miss you" Aku tak kuasa menahan air mataku, semuanya tumpah saat aku memeluk nisanmu.
Aku merasakan, kau memelukku juga dari belakang. Aku takut jika aku menoleh, aku tak mendapatimu disini. Namun, aku menoleh juga dengan ragu. Kali ini, aku melihatmu. Aku bangkit dari dudukku. Kau terlihat sangat cantik dengan dress lengan panjang berwarna putih bersih. Wajahmu bersinar, rambut indahmu terurai, senyum itu, senyum yang aku rindukan melekat diwajahmu.
Tanganmu bergerak, menghapus air mataku. Aku tak mau berkedip, takut jika aku berkedip dan saat melihatmu, kau sudah tak ada dihadapanku.
" Jangan pergi, kumohon. Maafkan aku, aku memang salah. Aku gak mau kamu jauh dari aku. Mama sama Papa juga ga mau kamu pergi. Aku memang bodoh, tapi aku janji, aku bakal berubah demi kamu. Pliss...Jangan pergi, jangan tinggalin aku sendirian. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, gak ada yang bisa gantiin kamu dihidupku. Banyak yang sedih kalo kamu pergi, jangan pergi, biar aku aja yang pergi," Aku terus bicara dengan suara serak. Sampai kau menggeleng dengan senyummu itu. Aku diam. menunggu tanggapanmu.
" Kamu gak perlu minta maaf, kamu gak salah. Aku yang salah, udah bikin kamu jenuh sama aku, sampai akhirnya kamu selingkuh," Bodoh, kenapa kau jadi bodoh seperti ini? Kau masih saja menyalahkan dirimu sendiri? Aku yang salah, bukan kamu!
" Aku juga sayang sama kamu, cinta sama kamu. Aku gak pernah jauh dari kamu kok. Aku selalu ada disamping kamu, menemani setiap langkah dihidupmu. Dan aku selalu ada disini, dihati kamu," Kau menyentuh dadaku. Aku genggam telapak tanganmu yang menyentuh dadaku. Agar aku bisa menahanmu jika kau pergi lagi.
" Jangan siksa hidupmu sendiri, Sayang. Aku ingin kamu bahagia. Aku selalu ada dihati setiap orang yang menyayangiku," Aku diam. Menatap matamu yang berbinar, dalam. Aku memejamkan mataku, meresapi sentuhan tanganmu didadaku. Sampai aku sadar, bahwa tanganmu sudah tak ada digenggamanku, lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar