Aku duduk termenung, bersandar dengan kaki terjulur lurus memenuhi sofa yang menghadap kearah halaman belakang rumahku. Hujan rintik-rintik yang semakin lama semakin deras menjadi tirai dari jendela yang sedang kupandangi dengan tatapan kosong. Tidak, tidak sepenuhnya tatapan kosong, disana, tempat yang menjadi objek fokus pandangku. Berdiri kau, tapatnya bayanganmu. Karna tidak mungkin saat ini kau berdiri diluar rumahku, dan hujan-hujanan.
Aku tersenyum, mengingat masa-masa saat kau mengganguku. Rasa rindu akan kau yang selalu mengangguku tiba-tiba menyelundup tanpa permisi. Semuanya terulang, didepan mataku.
Kau memaksa masuk dan mengacaukan rapat OSIS yang aku pimpin.
" Evril, gue sayang sama lo! Lo harus jadi cewe gue!" Itu yang kau bilang di depan semua anggota OSIS. Aku yang dulu sangat membencimu, sangat stres menghadapi caramu yang tidak terduga untuk mengungkapkan perasaanmu. Kau memang pria yang disukai banyak perempuan. Tapi, entah mengapa. Justru itu yang membuatku membencimu. Karna kau popular disekolah dan luar sekolah. Alasan yang gak masuk akal memang.
Aku mengambil secangkir coklat hangat diatas meja kecil bundar. Memeluk permukaan cangkir, untuk menghangatkan tubuhku. Bayanganmu tumbuh kembali diingatanku.
Saat itu aku sedang memilih buku disebuah toko buku. Tak ku sangka kau juga ada disana. Seperti biasa, kau mengacaukan agendaku. Aku yang tadinya hanya pergi untuk membeli buku. Harus rela membuang berjam-jam waktuku yang berharga. Yapp...karna kau memaksaku untuk menemanimu nonton dan makan malam. Awalnya aku menolak mentah-mentah, namun kau mengancam akan mempermalukanku didepan banyak orang yang mengunjungi mall itu. Aku tahu ancamanmu itu bukan hanya sekedar ancaman, makanya aku memenuhinya. Itu, secara tidak langsung, itu menjadi kencanku yang pertama, kencan kita yang pertama, juga. Kencan yang aku lakukan dengan penuh keterpaksaan.
Kau, kau tau aku ingin sekali nonton film animasi terbaru. Kau memang selalu tau apa yang aku inginkan, dan selalu kau berikan yang aku inginkan itu. Walau pada akhirnya, aku tak pernah menghargainya. Kau menyebalkan, tapi kau juga tulus mencintaiku.
Saat makan malam, aku kira kau akan mengajakku makan di restaurant. tapi, kau membawaku kerumah makan kaki lima. Dari cara pemilik rumah makan itu melayanimu, aku tau kalau kau sudah sering makan disini.
Sentuhan lembut tangan Mama menyadarkanku dari kenanganku. Mama tersenyum padaku. Ku balas dengan lemah.
" Jangan pikirkan kejadian yang udah berlalu, sayang. Yang penting, kamu baik-baik saja," Ucap Mama, sebari menyetelkan televisi yang menyiarkan film animasi favoritku. Lalu Mama pergi diiringi senyum paksaku.
Ku peluk boneka beruang kesayanganku, hadiah darimu. Satu-satunya benda pemberianmu yang aku simpan. Waktu itu, aku selesai mengerjakan salah satu tugas praktek kimia. Saat aku mau pulang, ternyata, ban mobilku kempes. Kau datang, memarkirkan mobilmu disamping mobilku. Kau, dengan menggunakan jersey futsal tim sekolah, lengkap dengan sepatu futsalmu. Aku tau, kau ketua ekskul futsal. Kau mendekatiku, memperhatikanku dan ban mobilku yang kempes.
" Mau gue gantiin bannya?" Tawar kau, dengan senyummu yang menjengkelkan itu. Terpaksa aku mengangguk, hey...aku kan gak mau sehari penuh disekolah. Jadi, apa salahnya untuk kali ini menerima bantuanmu.
" Tapi, lo harus nerima hadiah dari gue plus disimpen plus jadi kesayangan lo dan plus harus lo peluk kalo lo tidur," Aku manyun mendengarnya, tapi apa boleh buat. Sekolah udah sepi. Aku mengangguk lagi sebagai jawabannya. Kan kau tak akan tau apa yang aku lakukan terhadap hadiah pemberianmu itu. Kau membuka pintu belakang mobilmu. Dan mengeluarkan boneka ini. Sepasang boneka beruang berwarna krem. Dibungkus dengan plastik putih bercorakkan bunga yang berbeda. Kau menyodorkan boneka beruang yang memakai pita padaku.
" Jaga boneka ini, kalo lo sedih ato kangen sama gue. Liat dan peluk aja boneka ini, yang pasangannya biar gue yang jaga," Kau mengatakannya dengan senyum yang tulus, berbeda dengan senyummu yang biasanya. Kau memasukan kembali boneka yang akan kau jaga ke dalam mobilmu. Kau buka jersey yang kau pakai. Dan mulai mengganti ban mobilku yang kempes, tubuhmu yang terawat hanya tertutup kaos oblong berwarna putih. Aku buru-buru mengambil alih pikiranku kembali. Segera saja aku menjauh kekantin, membeli minum. Masih diparkiran, aku melihat kedua sohibmu sedang ngobrol dengan asyik dibawah pohon mangga.
" Si Reza pinter juga yeh, dia yang ngempesin ban mobil si Evril, dia juga yang gantiin," Gika, temanmu yang menjadi kiper andalan tim futsal membuatku kaget dan menghentikan langkahku.
" Ya, Evrilnya juga sih, dikasih apa aja sama Reza, malah ditolak mulu. Akhirnya, Reza make otak deh biar tuh boneka diterima Evril," Udin, sohibmu yang rada-rada, menimpali ucapan Gika. Untuk selanjutnya aku tak mendengar ucapan mereka lagi. Aku berbalik menuju kau. Kau sudah selesai dengan ban. Aku menatapmu kesal. Namun, amarahku hilang, saat aku melihat boneka pemberianmu yang aku letakan didalam mobil.
" Thanks," Ucapku, sebari masuk dan menyalakan mesin mobil. Lucu memang, aku aja bingung, kenapa aku tidak membentakmu saja saat itu. Padahal, awalnya aku sangat kesal dengan caramu itu. Tapi, kau memang selalu membuat masalah denganku, agar kau mendapatkan perhatianku. Aku tersenyum tanpa sadar.
Evral, kembaran laki-lakiku mengejutkanku. Entah datang darimana, kini ia duduk disofa sebelah sofa yang aku tiduri. Tubuhnya basah, mungkin dia abis hujan-hujanan dengan motor kesayangannya. Dia menyodorkan segelas besar coklat panas. Kembaran yang pengertian. Dia ikut menonton animasi denganku.
Ngomong-ngomong tentang Evral. Aku jadi teringat satu lagi kenangan kita. Saat itu aku sedang berdiri didepan ruang OSIS. Evral datang dan langsung memelukku. Dia merangkulku dan mengatakan pada semua orang bahwa aku dan dia pacaran. Dia memang gila, tapi dia tetap kakak yang berbeda beberapa menit denganku. Dia baru kembali dari Dubai, negara asal Papa. Dia memang tinggal di Dubai bersama Papa, namun kini dia akan melanjutkan kuliah di Indonesia. Evral mengaku-aku sebagai pacarku, karena banyak siswi disekolah yang mendekatinya.
Akhirnya, saat aku dan Evral bertemu denganmu. Kau hanya menggaruk belakang lehermu sambil tertawa canggung, lalu pergi setelah mengucapkan selamat. Kau menjauhiku, aku bersyukur, awalnya. Semakin hari, kau semakin menjauhiku. Buktinya, saat kita papasan ditangga sekolah, biasanya kau akan menghalangi jalanku, menggangguku. Namun, saat itu kau memberiku jalan. Aku melihat matamu. Mata yang dulu penuh semangat dan menatap dengan tajam. Kini berubah menjadi tatapan dingin dan tak bersemangat. Rasa aneh itu datang, aku rindu diganggu olehmu, aku rindu tatapanmu yang dulu, aku rindu celotehan-celotehanmu, dan aku rindu kenjutan-kejutanmu untukku.
" Napa lo? Mikirin Reza?" Pertanyaan Evral yang serentak itu mengagetkanku. Evral menatapku dengan tatapan tajam, tatapan yang dia warisi dari Papa. Aku menunduk.
" Reza itu cowo yang baik, gue setuju lo sama dia. Kalo minggu kemaren dia gak ada, gak tau deh lo udah jadi apaan," Air mataku menetes, kejadian minggu lalu adalah kejadian paling buruk untuk pengalamanku.
Minggu lalu itu, ada pertemuan antara alumni-alumni yang baru keluar dengan adik-adik kelas mereka yang satu ekskul. Aku yang dulu ketua ekskul musik, ikut bergabung dengan yang lain diruang seni musik. Memberi pengarahan untuk adik-adik baru. Aku keluar paling akhir, membenahi ruangan itu sendirian. Tiba-tiba pintu tertutup, aku melihat Egar, mantan wakil ketua OSIS-ku berdiri didepan pintu. Aku tersenyum lalu hendak keluar ruangan. Langkahku terhenti saat Egar memelukku dengan erat. Aku memberontak.
" Kenapa lo nolak gue, Vril? Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo!" Kalimat itu terus diulangi oleh Egar.
" Egar, lepasin, Egar! Lo apa-apaan sih?" Aku berhasil melepaskan diri, aku berlari menjauh dari Egar. Sial, pintu dikunci. Egar terus mendekatiku, dia berhasil menangkapku. Aku terus memberontak, air mataku sudah membanjiri wajahku saat itu. Egar menarik kaos tangan panjang yang aku kenakan, sampai robek, karena aku yang juga terus melawan. Sia-sia, Egar kembali memelukku dengan paksa. Egar terus menerus mencumbuku. Aku terpojok. Aku duduk dipojok mencoba melindungi diriku. Egar membuka satu persatu kancing kemejanya.
" Egar, pliss jangan. Gue mohon," Aku terisak sambil terus menerus menggumamkan kalimat itu. Egar tak mau mendengarkan ucapanku.
Aku tak fokus. Pandanganku tidak fokus, yang ada hanya kupingku mendengar suara-suara pukulan, dan benda yang hancur. Sampai akhirnya pandanganku kembali fokus, aku melihat kau berlutut didepanku. Aku peluk kau, mencoba mencari perlindungan. Aku tak tau kapan kau mendobrak pintu ruangan itu. Sampai akhirnya kesadaranku hilang. Semuanya menjadi gelap.
Saat aku mendapatkan kembali kesadaranku. Aku berada didalam mobilmu, tapi kau tak ada didekatku, jaket club bola favoritmu menempel ditubuhku. Pakaian yang aku kenakan ternyata sudah sobek dimana-mana. Kau memang tulus mencintaiku. Kau melindungiku, sangat melindungiku.
Pintu dekat kemudi terbuka, kau masuk dan duduk disana. Kau tersenyum lembut padaku. Aku balas, untuk pertama kalinya aku tersenyum manis untukmu. Keningmu berkerut, mungkin kau heran. Kau mengambil plastik hitam dijok belakang, lalu memberikannya padaku.
" Nih, makan dulu buburnya, satu buat lo satu buat gue," Didalam mobilmu, kita makan bubur ayam berdua, ditemani dengan musik yang mengalun lembut.
" Keluar yuk, suasana kebun teh-nya kerasa banget loh," Aku mengikutimu keluar dari mobil, kau dan aku duduk diatas kap mobilmu. Melihat hamparan kebun teh dan hamparan bintang.
" Sory, gak langsung bawa lo balik, gue cuma..."
" Thanks ya, udah nolongin gue. Dan thanks juga, gak langsung bawa gue pulang, gue pengen refreshing," Aku mengatakannya tanpa menatapmu, aku menatap bintang-bintang saat mengatakannya. Aku takut kau akan melihat wajahku yang memerah jika aku menatap wajahmu.
Lama kita terdiam, sampai akhirnya aku menyandarkan kepalaku dibahumu. Dan tertidur lelap. Saat bangun, ternyata aku sudah berada dikamarku. Aku tau, kau membawaku kekamar, dan menjelaskan semuanya kepada Mama dan Evral.
" Tuh kan, pasti mikirin Reza," Lagi, Evral mengagetkanku. Kenapa tebakannya sesalu tepat sasaran sih?!
Evral melempar HP miliknya padaku. Aku tatap dia dengan bingung.
" Lo telpon dia sekarang, hari ini dia berangkat ke Jepang buat lanjutin kuliahnya. Mending telpon sekarang ato gak sama sekali," Aku bimbang, menatap HP Evral. Sampai akhirnya, aku melempar HP Evral kepada pemiliknya lalu berlari sekuat tenaga.
" Kamu mau kemana, Evril? Hei...jangan hujan-hujanan, kamu masih demam!" Teriak Mama dari ruang keluarga. Aku ambil kunci mobil Evral diatas meja panjang yang terletak diruang tamu. Aku terobos hujan, mendekati mobil sedan sport milik Evral digarasi. Aku pacu mobil itu keluar dari lingkungan rumahku.
" Evriilll...mobil gue baru gue cuci, aduuh...kotor lagi itu, dodol lo!" Teriak Evral, yang terdengar diantara bunyi hujan yang deras. Hujan deras tak menciutkan niatku untuk menghalangi kau pergi dari hidupku. Jalanan kota Jakarta menjadi arena balap untukku, arena balap yang menentukan apakah kau akan tetap disisiku, atau kau akan pergi karena sikapku dulu padamu. Makian-makian dan umpatan-umpatan keluar dari pengguna jalan yang lain dan teralamatkan untukku. Tetap aku tak peduli, yang aku pedulikan hanya, kau, kau, kau, dan kau jangan pergi.
Lampu merah aku terobos begitu saja, untunglah tak ada polisi disana. Aku tambah lagi kecepatan mobil ini. Sampai dibandara, aku parkirkan mobil ini dengan asal. Lalu berlari menjelajahi setiap inci ruangan dibandara ini, mencarimu dengan air mata bergulir dengan deras, sederas hujan yang sedang mengguyur bumi saat ini.
" Jangan pergi, jangan pergi, kumohon. Aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku," Gumamku sebari terus berlari. Satu jam sudah aku mencarimu, namun tak kudapati dirimu. Aku duduk dipinggir jalan dekat dengan jalan masuk keparkiran bandara. Aku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tubuhku menggigil, bukan karena kedinginan setelah hujan-hujanan. Namun, menggigil karena aku menangis.
Aku mencintaimu, aku menyayangimu. Dan aku menyesal, kenapa aku baru sadar sekarang? Saat kau telah pergi kebelahan bumi yang lain. Kalau saja aku punya satu permintaan, aku hanya ingin meminta, agar kau juga tau perasaanku padamu yang sejujurnya.
Aku, dulu aku membencimu karena kau popular, dikagumi banyak perempuan. Didekati banyak perempuan. Iya, aku membencimu karna aku cemburu melihatmu yang dekat dengan perempuan lain. Itu alasan sebenarnya, kenapa aku membencimu.
Sebuah tangan yang kekar merangkulku, aku menoleh dan aku tak percaya. Kau, kau duduk disampingku saat ini, tanganmu yang satunya terjulur menghapus air mataku. Aku berdiri, kau juga. Spontan, aku memelukmu.
" Aku, aku sayang sama kamu, jangan tinggalin aku," Ucapku serak, ya...namanya juga lagi nangis. Taukan?
Kau melepaskan pelukanku, menatapku dengan kening berkerut. Lalu membuang pandanganmu dariku.
" Gue udah gak minat jadi pacar lo," Kalimatmu itu membuatku terperangah. Tapi, aku maklum. Dulu aku yang menolakmu, jadi wajar jika kau menolakku, kini.
Kau menempelkan keningmu pada keningku, membuatku mundur beberapa langkah, kau tersenyum, senyum yang menyebalkan itu lagi.
" Gue gak mau jadi pacar lo, tapi gue mau kita nikah,"
" APA?!" Ucapku, spontan akibat mendengar kalimatmu itu. Kau menjauhakan kembali wajahmu dari wajahku. Melihat sekitar, kau lakukan. Aku masih terperangah.
Kau menarikku, membawaku ketengah-tengah zebracros. Beberapa mobil yang hendak melintas berhenti. Kau berlutut didepanku, lalu mengeluarkan kotak kecil berwarna merah, yang didalamnya berisi sepasang cincin pernikahan.
" Evrillia Yanti Al-Kharl, I love you, will you marry me?" Kau berteriak, semua orang dibandara memperhatikan kita, aku yakin itu.
" Kamu serius ya?" Aku...entahlah aku bingung mau menerimanya atau menolaknya. Yang jelas, goodbye my enemy.
Aku tersenyum, mengingat masa-masa saat kau mengganguku. Rasa rindu akan kau yang selalu mengangguku tiba-tiba menyelundup tanpa permisi. Semuanya terulang, didepan mataku.
Kau memaksa masuk dan mengacaukan rapat OSIS yang aku pimpin.
" Evril, gue sayang sama lo! Lo harus jadi cewe gue!" Itu yang kau bilang di depan semua anggota OSIS. Aku yang dulu sangat membencimu, sangat stres menghadapi caramu yang tidak terduga untuk mengungkapkan perasaanmu. Kau memang pria yang disukai banyak perempuan. Tapi, entah mengapa. Justru itu yang membuatku membencimu. Karna kau popular disekolah dan luar sekolah. Alasan yang gak masuk akal memang.
Aku mengambil secangkir coklat hangat diatas meja kecil bundar. Memeluk permukaan cangkir, untuk menghangatkan tubuhku. Bayanganmu tumbuh kembali diingatanku.
Saat itu aku sedang memilih buku disebuah toko buku. Tak ku sangka kau juga ada disana. Seperti biasa, kau mengacaukan agendaku. Aku yang tadinya hanya pergi untuk membeli buku. Harus rela membuang berjam-jam waktuku yang berharga. Yapp...karna kau memaksaku untuk menemanimu nonton dan makan malam. Awalnya aku menolak mentah-mentah, namun kau mengancam akan mempermalukanku didepan banyak orang yang mengunjungi mall itu. Aku tahu ancamanmu itu bukan hanya sekedar ancaman, makanya aku memenuhinya. Itu, secara tidak langsung, itu menjadi kencanku yang pertama, kencan kita yang pertama, juga. Kencan yang aku lakukan dengan penuh keterpaksaan.
Kau, kau tau aku ingin sekali nonton film animasi terbaru. Kau memang selalu tau apa yang aku inginkan, dan selalu kau berikan yang aku inginkan itu. Walau pada akhirnya, aku tak pernah menghargainya. Kau menyebalkan, tapi kau juga tulus mencintaiku.
Saat makan malam, aku kira kau akan mengajakku makan di restaurant. tapi, kau membawaku kerumah makan kaki lima. Dari cara pemilik rumah makan itu melayanimu, aku tau kalau kau sudah sering makan disini.
Sentuhan lembut tangan Mama menyadarkanku dari kenanganku. Mama tersenyum padaku. Ku balas dengan lemah.
" Jangan pikirkan kejadian yang udah berlalu, sayang. Yang penting, kamu baik-baik saja," Ucap Mama, sebari menyetelkan televisi yang menyiarkan film animasi favoritku. Lalu Mama pergi diiringi senyum paksaku.
Ku peluk boneka beruang kesayanganku, hadiah darimu. Satu-satunya benda pemberianmu yang aku simpan. Waktu itu, aku selesai mengerjakan salah satu tugas praktek kimia. Saat aku mau pulang, ternyata, ban mobilku kempes. Kau datang, memarkirkan mobilmu disamping mobilku. Kau, dengan menggunakan jersey futsal tim sekolah, lengkap dengan sepatu futsalmu. Aku tau, kau ketua ekskul futsal. Kau mendekatiku, memperhatikanku dan ban mobilku yang kempes.
" Mau gue gantiin bannya?" Tawar kau, dengan senyummu yang menjengkelkan itu. Terpaksa aku mengangguk, hey...aku kan gak mau sehari penuh disekolah. Jadi, apa salahnya untuk kali ini menerima bantuanmu.
" Tapi, lo harus nerima hadiah dari gue plus disimpen plus jadi kesayangan lo dan plus harus lo peluk kalo lo tidur," Aku manyun mendengarnya, tapi apa boleh buat. Sekolah udah sepi. Aku mengangguk lagi sebagai jawabannya. Kan kau tak akan tau apa yang aku lakukan terhadap hadiah pemberianmu itu. Kau membuka pintu belakang mobilmu. Dan mengeluarkan boneka ini. Sepasang boneka beruang berwarna krem. Dibungkus dengan plastik putih bercorakkan bunga yang berbeda. Kau menyodorkan boneka beruang yang memakai pita padaku.
" Jaga boneka ini, kalo lo sedih ato kangen sama gue. Liat dan peluk aja boneka ini, yang pasangannya biar gue yang jaga," Kau mengatakannya dengan senyum yang tulus, berbeda dengan senyummu yang biasanya. Kau memasukan kembali boneka yang akan kau jaga ke dalam mobilmu. Kau buka jersey yang kau pakai. Dan mulai mengganti ban mobilku yang kempes, tubuhmu yang terawat hanya tertutup kaos oblong berwarna putih. Aku buru-buru mengambil alih pikiranku kembali. Segera saja aku menjauh kekantin, membeli minum. Masih diparkiran, aku melihat kedua sohibmu sedang ngobrol dengan asyik dibawah pohon mangga.
" Si Reza pinter juga yeh, dia yang ngempesin ban mobil si Evril, dia juga yang gantiin," Gika, temanmu yang menjadi kiper andalan tim futsal membuatku kaget dan menghentikan langkahku.
" Ya, Evrilnya juga sih, dikasih apa aja sama Reza, malah ditolak mulu. Akhirnya, Reza make otak deh biar tuh boneka diterima Evril," Udin, sohibmu yang rada-rada, menimpali ucapan Gika. Untuk selanjutnya aku tak mendengar ucapan mereka lagi. Aku berbalik menuju kau. Kau sudah selesai dengan ban. Aku menatapmu kesal. Namun, amarahku hilang, saat aku melihat boneka pemberianmu yang aku letakan didalam mobil.
" Thanks," Ucapku, sebari masuk dan menyalakan mesin mobil. Lucu memang, aku aja bingung, kenapa aku tidak membentakmu saja saat itu. Padahal, awalnya aku sangat kesal dengan caramu itu. Tapi, kau memang selalu membuat masalah denganku, agar kau mendapatkan perhatianku. Aku tersenyum tanpa sadar.
Evral, kembaran laki-lakiku mengejutkanku. Entah datang darimana, kini ia duduk disofa sebelah sofa yang aku tiduri. Tubuhnya basah, mungkin dia abis hujan-hujanan dengan motor kesayangannya. Dia menyodorkan segelas besar coklat panas. Kembaran yang pengertian. Dia ikut menonton animasi denganku.
Ngomong-ngomong tentang Evral. Aku jadi teringat satu lagi kenangan kita. Saat itu aku sedang berdiri didepan ruang OSIS. Evral datang dan langsung memelukku. Dia merangkulku dan mengatakan pada semua orang bahwa aku dan dia pacaran. Dia memang gila, tapi dia tetap kakak yang berbeda beberapa menit denganku. Dia baru kembali dari Dubai, negara asal Papa. Dia memang tinggal di Dubai bersama Papa, namun kini dia akan melanjutkan kuliah di Indonesia. Evral mengaku-aku sebagai pacarku, karena banyak siswi disekolah yang mendekatinya.
Akhirnya, saat aku dan Evral bertemu denganmu. Kau hanya menggaruk belakang lehermu sambil tertawa canggung, lalu pergi setelah mengucapkan selamat. Kau menjauhiku, aku bersyukur, awalnya. Semakin hari, kau semakin menjauhiku. Buktinya, saat kita papasan ditangga sekolah, biasanya kau akan menghalangi jalanku, menggangguku. Namun, saat itu kau memberiku jalan. Aku melihat matamu. Mata yang dulu penuh semangat dan menatap dengan tajam. Kini berubah menjadi tatapan dingin dan tak bersemangat. Rasa aneh itu datang, aku rindu diganggu olehmu, aku rindu tatapanmu yang dulu, aku rindu celotehan-celotehanmu, dan aku rindu kenjutan-kejutanmu untukku.
" Napa lo? Mikirin Reza?" Pertanyaan Evral yang serentak itu mengagetkanku. Evral menatapku dengan tatapan tajam, tatapan yang dia warisi dari Papa. Aku menunduk.
" Reza itu cowo yang baik, gue setuju lo sama dia. Kalo minggu kemaren dia gak ada, gak tau deh lo udah jadi apaan," Air mataku menetes, kejadian minggu lalu adalah kejadian paling buruk untuk pengalamanku.
Minggu lalu itu, ada pertemuan antara alumni-alumni yang baru keluar dengan adik-adik kelas mereka yang satu ekskul. Aku yang dulu ketua ekskul musik, ikut bergabung dengan yang lain diruang seni musik. Memberi pengarahan untuk adik-adik baru. Aku keluar paling akhir, membenahi ruangan itu sendirian. Tiba-tiba pintu tertutup, aku melihat Egar, mantan wakil ketua OSIS-ku berdiri didepan pintu. Aku tersenyum lalu hendak keluar ruangan. Langkahku terhenti saat Egar memelukku dengan erat. Aku memberontak.
" Kenapa lo nolak gue, Vril? Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo!" Kalimat itu terus diulangi oleh Egar.
" Egar, lepasin, Egar! Lo apa-apaan sih?" Aku berhasil melepaskan diri, aku berlari menjauh dari Egar. Sial, pintu dikunci. Egar terus mendekatiku, dia berhasil menangkapku. Aku terus memberontak, air mataku sudah membanjiri wajahku saat itu. Egar menarik kaos tangan panjang yang aku kenakan, sampai robek, karena aku yang juga terus melawan. Sia-sia, Egar kembali memelukku dengan paksa. Egar terus menerus mencumbuku. Aku terpojok. Aku duduk dipojok mencoba melindungi diriku. Egar membuka satu persatu kancing kemejanya.
" Egar, pliss jangan. Gue mohon," Aku terisak sambil terus menerus menggumamkan kalimat itu. Egar tak mau mendengarkan ucapanku.
Aku tak fokus. Pandanganku tidak fokus, yang ada hanya kupingku mendengar suara-suara pukulan, dan benda yang hancur. Sampai akhirnya pandanganku kembali fokus, aku melihat kau berlutut didepanku. Aku peluk kau, mencoba mencari perlindungan. Aku tak tau kapan kau mendobrak pintu ruangan itu. Sampai akhirnya kesadaranku hilang. Semuanya menjadi gelap.
Saat aku mendapatkan kembali kesadaranku. Aku berada didalam mobilmu, tapi kau tak ada didekatku, jaket club bola favoritmu menempel ditubuhku. Pakaian yang aku kenakan ternyata sudah sobek dimana-mana. Kau memang tulus mencintaiku. Kau melindungiku, sangat melindungiku.
Pintu dekat kemudi terbuka, kau masuk dan duduk disana. Kau tersenyum lembut padaku. Aku balas, untuk pertama kalinya aku tersenyum manis untukmu. Keningmu berkerut, mungkin kau heran. Kau mengambil plastik hitam dijok belakang, lalu memberikannya padaku.
" Nih, makan dulu buburnya, satu buat lo satu buat gue," Didalam mobilmu, kita makan bubur ayam berdua, ditemani dengan musik yang mengalun lembut.
" Keluar yuk, suasana kebun teh-nya kerasa banget loh," Aku mengikutimu keluar dari mobil, kau dan aku duduk diatas kap mobilmu. Melihat hamparan kebun teh dan hamparan bintang.
" Sory, gak langsung bawa lo balik, gue cuma..."
" Thanks ya, udah nolongin gue. Dan thanks juga, gak langsung bawa gue pulang, gue pengen refreshing," Aku mengatakannya tanpa menatapmu, aku menatap bintang-bintang saat mengatakannya. Aku takut kau akan melihat wajahku yang memerah jika aku menatap wajahmu.
Lama kita terdiam, sampai akhirnya aku menyandarkan kepalaku dibahumu. Dan tertidur lelap. Saat bangun, ternyata aku sudah berada dikamarku. Aku tau, kau membawaku kekamar, dan menjelaskan semuanya kepada Mama dan Evral.
" Tuh kan, pasti mikirin Reza," Lagi, Evral mengagetkanku. Kenapa tebakannya sesalu tepat sasaran sih?!
Evral melempar HP miliknya padaku. Aku tatap dia dengan bingung.
" Lo telpon dia sekarang, hari ini dia berangkat ke Jepang buat lanjutin kuliahnya. Mending telpon sekarang ato gak sama sekali," Aku bimbang, menatap HP Evral. Sampai akhirnya, aku melempar HP Evral kepada pemiliknya lalu berlari sekuat tenaga.
" Kamu mau kemana, Evril? Hei...jangan hujan-hujanan, kamu masih demam!" Teriak Mama dari ruang keluarga. Aku ambil kunci mobil Evral diatas meja panjang yang terletak diruang tamu. Aku terobos hujan, mendekati mobil sedan sport milik Evral digarasi. Aku pacu mobil itu keluar dari lingkungan rumahku.
" Evriilll...mobil gue baru gue cuci, aduuh...kotor lagi itu, dodol lo!" Teriak Evral, yang terdengar diantara bunyi hujan yang deras. Hujan deras tak menciutkan niatku untuk menghalangi kau pergi dari hidupku. Jalanan kota Jakarta menjadi arena balap untukku, arena balap yang menentukan apakah kau akan tetap disisiku, atau kau akan pergi karena sikapku dulu padamu. Makian-makian dan umpatan-umpatan keluar dari pengguna jalan yang lain dan teralamatkan untukku. Tetap aku tak peduli, yang aku pedulikan hanya, kau, kau, kau, dan kau jangan pergi.
Lampu merah aku terobos begitu saja, untunglah tak ada polisi disana. Aku tambah lagi kecepatan mobil ini. Sampai dibandara, aku parkirkan mobil ini dengan asal. Lalu berlari menjelajahi setiap inci ruangan dibandara ini, mencarimu dengan air mata bergulir dengan deras, sederas hujan yang sedang mengguyur bumi saat ini.
" Jangan pergi, jangan pergi, kumohon. Aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku," Gumamku sebari terus berlari. Satu jam sudah aku mencarimu, namun tak kudapati dirimu. Aku duduk dipinggir jalan dekat dengan jalan masuk keparkiran bandara. Aku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tubuhku menggigil, bukan karena kedinginan setelah hujan-hujanan. Namun, menggigil karena aku menangis.
Aku mencintaimu, aku menyayangimu. Dan aku menyesal, kenapa aku baru sadar sekarang? Saat kau telah pergi kebelahan bumi yang lain. Kalau saja aku punya satu permintaan, aku hanya ingin meminta, agar kau juga tau perasaanku padamu yang sejujurnya.
Aku, dulu aku membencimu karena kau popular, dikagumi banyak perempuan. Didekati banyak perempuan. Iya, aku membencimu karna aku cemburu melihatmu yang dekat dengan perempuan lain. Itu alasan sebenarnya, kenapa aku membencimu.
Sebuah tangan yang kekar merangkulku, aku menoleh dan aku tak percaya. Kau, kau duduk disampingku saat ini, tanganmu yang satunya terjulur menghapus air mataku. Aku berdiri, kau juga. Spontan, aku memelukmu.
" Aku, aku sayang sama kamu, jangan tinggalin aku," Ucapku serak, ya...namanya juga lagi nangis. Taukan?
Kau melepaskan pelukanku, menatapku dengan kening berkerut. Lalu membuang pandanganmu dariku.
" Gue udah gak minat jadi pacar lo," Kalimatmu itu membuatku terperangah. Tapi, aku maklum. Dulu aku yang menolakmu, jadi wajar jika kau menolakku, kini.
Kau menempelkan keningmu pada keningku, membuatku mundur beberapa langkah, kau tersenyum, senyum yang menyebalkan itu lagi.
" Gue gak mau jadi pacar lo, tapi gue mau kita nikah,"
" APA?!" Ucapku, spontan akibat mendengar kalimatmu itu. Kau menjauhakan kembali wajahmu dari wajahku. Melihat sekitar, kau lakukan. Aku masih terperangah.
Kau menarikku, membawaku ketengah-tengah zebracros. Beberapa mobil yang hendak melintas berhenti. Kau berlutut didepanku, lalu mengeluarkan kotak kecil berwarna merah, yang didalamnya berisi sepasang cincin pernikahan.
" Evrillia Yanti Al-Kharl, I love you, will you marry me?" Kau berteriak, semua orang dibandara memperhatikan kita, aku yakin itu.
" Kamu serius ya?" Aku...entahlah aku bingung mau menerimanya atau menolaknya. Yang jelas, goodbye my enemy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar