Rabu, 14 Agustus 2013

29 MEI, IS HAPPY AND BAD MEMORIES FOR ME.

Sinar matahari pagi menyinari wajahku, membuatku terbangun dari tidurku. Aku bangun, membuka gorden dan jendela kamarku. Kurenggangkan tubuh ini, angin mengembus dengan santainya, membelai wajahku. Sudah hampir tujuh bulan ini, aku menetap di Belanda, iya...aku kuliah disini, dan tinggal bersama oma dan opa dari Mamaku. Kupandangi halaman rumah dari jendela, tulip-tulip berwarna-warni bermekaran, menghiasi berbagai sudut perkarangan rumah yang aku tinggali ini, musin semi telah tiba.

Pandanganku berhenti pada bingkai foto yang terletak diatas meja panjang dekat jendela. Kupandangi pigura kau difoto itu. Aku menghela nafas berat, dan kubalikkan foto itu. Aku masih marah padamu, masih kesal, masih kecewa, dan masih...terluka. Sudah tujuh bulan pula, komunikasi kita, aku putuskan. Aku tak tau bagaimana dirimu sekarang di Jakarta. Rindu? Jelas aku sangat rindu padamu. Namun, amarah ini terlalu menekan diriku, agar tak menghubungimu, tak berkomunikasi denganmu, untuk sementara.

Aku bergegas turun, setelah mandi dan bersiap-siap untuk kuliah tentunya. Aku sarapan ditemani oleh oma dan opa. Mereka sangat nenyayangiku, begitupun sebaliknya. Setiap sarapan dan makan malam, kami selalu bersama-sama. Oma juga selalu menjadi tempatku menumpahkan gundahku, tempatku menceritakan segalanya. Memang, aku lebih akrab dengan oma dan opa, ketimbang orangtuaku sendiri, mereka selalu sibuk dengan bisnis mereka di Jakarta.

Aku berangkat dengan diantar oleh oma, dengan menggunakan mobilnya. Ditengah perjalanan, HP ku berbunyi. Bilqis, sobatku menelpon. Pasti ada sesuatu yang terjadi di Jakarta. Aku shock mendengar apa yang dikabarkan oleh Bilqis. Air mataku tumpah.

" Kenapa, Sayang? Kok nangis?" Oma melirikku, aku menatapnya dengan tatapan yang masih shock.

" Oma, aku harus pergi ke Jakarta," Aku menghapus air mataku, oma memberhentikan mobil dipinggir jalan perumahan. Menanyakan apa yg terjadi, setelah aku menceritakan semua yang dikatakan Bilqis, oma langsung mengiyakan permintaanku.

" Kita pulang dulu, kamu ambil paspor sama visa, abis itu kita pergi ke bandara," Oma memutar balik mobil, dan membawaku ketempat tujuanku.

Aku berdiri tak tenang diruang tunggu keberangkatan. Ku genggam kalung pemberianmu yang sudah tujuh bulan tak aku pakai. Dirumah, aku hanya sempat mengambil paspor, visa, dan kalung ini. Bilqis menelponku, lagi.

" El, kamu langsung kerumah sakit Siloam Jakarta aja ya, kalo udah sampe Soekarno-Hatta kabarin aku," Bilqis, kurasa dia sedang sibuk. Bahkan, untuk mengucapkan salam saja dia tidak, dia menelpon hanya untuk bilang itu, dan langsung mematikannya, lagi. Tak lama, semua penumpang keberangkatan Amsterdam-Jakarta memasuki pesawat. Begitu pula aku.

Selama perjalanan Amsterdam-Jakarta, pikiranku terbang kekenangan kita. Saat hubungan kita baik-baik saja.

Dikoridor sekolah, depan kelasku, dulu. Kau didorong beberapa temanmu, mendekatiku yang sedang membaca novel. Semuanya masih menggunakan seragam putih abu-abu. Kau mengajakku ngobrol dengan keringat sebesar jagung didahimu, aku tau kau grogi. Terbukti dengan caramu bicara yang terkesan gagap. Kau mengajakku untuk pulang bersama, aku mengiyakan.

Tapi, kau tidak langsung membawaku pulang. Kau membawaku kesebuah bioskop. Kita nonton. Iya nonton, tapi nonton film yang kau buat sendiri. Film terindah yang pernah aku tonton. Indah, walau hanya berupa film-film animasi pendek romantis yang kau gabungkan dengan akhir berupa tulisan. Tulisan yang membentuk beberapa kalimat. Aku ingat, tidak...aku hapal kalimat itu sampai sekarang.

Film pertama, tentang seorang pria yang hanya bisa memperhatikan seorang wanita yang dicintainya dari jauh. Film kedua, tentang apa itu arti sakit hati saat melihat orang yang kita cintai, namun tak kita miliki, bersama orang lain. Film ketiga, Seorang pria yang tak menyerah mengungkapkan perasaannya, walau sering gagal dalam upaya mengungkapkannya, pria itu tak menyerah, dan keajaiban pun tumbuh. Film keempat, tentang arti menunggu, menunggu yang tak pasti. Dan Film kelima, seorang wanita yang memayungi seorang pria yang sedang kehujanan. Diakhir film itu, tertera beberapa kalimat...

Hidupku takkan berharga jika, aku tak tau apa tujuan hidupku.
Hidupku takkan berwarna jika, tak ada yang memberinya warna.
Hidupku adalah tentang aku yang mencintaimu.

Dan kau...
Kau adalah tujuan hidupku.
Kau lah yang memberikan warna dihidupku.
Kau lah cinta dihidupku.

Hidupku, adalah sebuah upaya untuk memberitahumu, tentang perasaanku padamu.
Temanku, sahabatku, adalah semangat yang membantuku, memberitahumu tentang apa yang aku simpan dihati ini.

Edelweiss...I LOVE YOU. 

Aku terkejut, saat itu juga aku menatapmu, yang sedang menatapku. Aku terharu, sampai-sampai, air mataku menetes. Kau genggam tanganku, dan kau, kau memintaku menjadi kekasihmu, tepat tanggal 29 Mei. Semua film animasi itu adalah potret hidupmu, yang susah mengungkapkan perasaanmu padaku. 

Aku menghela nafas, air mataku turun lagi. Mengingat semua itu.

Selanjutnya, hari-hari kita lewati dengan canda dan tawa. Awal-awalnya, banyak teman-teman kita yang malakin kamu, minta tlaktiran. Kencan pertama kita, kita lakukan dirumahku, nonton pertandingan club bola kesayangan kita, yang kebetulan, kita sama-sama menjadi pendukung Manchester United. Berdua, ditemani popcorn, kacang, dan minuman.

Terkadang aku jadi ilfil pacaran sama kamu. Kamu anak orang punya, ganteng, baik, pinter, sedangkan aku? Aku ke Belanda pun dengan biaya dari oma dan opa, serta beasiswa.

Saat kau sedang rutin-rutinnya latihan futsal, aku rela, kau cancel semua jadwal jalan kita. Aku juga jadi rutin menemanimu berlatih, menunggumu dipinggir lapangan. Menemanimu walau sampai larut malam. Memberimu sebotol air mineral. Menghapus keringatmu. Menjadi penyemangat untukmu. Menjadi seseorang yang selalu kau butuhkan.

Tapi, saat aku yang sibuk dengan ekskul musikku, kau selalu mengeluh tak mendapatkan waktuku, kau marah saat aku meng-cancel semua agendaku denganmu. Sampai-sampai, aku harus mengatur ulang jadwalku, agar kau mendapatkan waktuku setiap harinya.

Bahkan, saat kau menjadi yang bicara, aku menjadi pendengar yang baik. Semua pengalamanmu, pengalaman cinta khususnya. Sampai-sampai aku ngambek saat itu juga. Kamu langsung berjanji gak ngomongin mantan kamu lagi, saat itu juga. Lucu.

Aku tau kau belum mendapat izin dari orangtuamu untuk pacaran. Tapi, kau malah memantapkan niatmu, untuk memperkenalkanku sebagai pacarmu pada kedua orangtuamu. Aku tau kau ragu, namun kau tutupi rasa ragu itu didepanku. Dan, saat harinya tiba, kau membawaku kerumahmu. 

Disana, aku berbincang-bincang dengan Mama dan Papamu. Semua pertanyaan mereka, aku jawab dengan jujur dan dengan senyuman. Tapi, kau tak pernah tau, jika orangtuamu menceritakan kejelekanmu padaku. Yang kau tau hanya, orang tuamu menyukaiku. Itu saja.

Saat bulan Ramadhan, kita berdua mendapatkan undangan bukber. Takku sangka, mantanmu ikut hadir. Disana, kalian ngobrol panjang lebar, seakan-akan aku itu tak ada. Bahkan kau membiarkanku pulang sendiri, sedangkan kau mengantar mantanmu pulang. Seakan-akan, kau belum bisa move on darinya. Menyebalkan! Tapi, kamu selalu marah, ngediemin aku, kalau aku dekat dengan cowo lain. Baik itu sahabatmu ataupun orang lain.

Setelahnya, tak pernah ada masalah berarti dalam hubungan kita, karna kita saling mengisi posisi masing-masing. Kita bagaikan, pasangan yang paling bahagia.

Namun, semua itu pupus saat malam perpisahan digedung serbaguna yang sekolah kita sewa, tepat tanggal 29 Mei, satu tahun hubungan kita. Awalnya aku memang berniat tidak datang, karna oma dan opa datang dari Belanda. Tapi, mama dan papa menyuruhku pergi, kata mereka, ini adalah pengalamanku sekali seumur hidup. Jadi aku datang.

Di parkiran, aku menelponmu, namun aku salah telah datang kesana. Karna itu, itu menjadi alasan amarahku muncul. Aku, diparkiran, aku melihat kau sedang berciuman dengan Yuni, teman baikku. Didepanku berdiri Dika, dan Jamil yang membelakangiku. Sobatmu. Sambungan telpon tersambung, HP-mu berbunyi, kau mengambilnya. Tanganku terkulai lemas, HP-ku pun terjatuh, air mataku membanjiri wajahku. Sakit hatiku, melihat kau berkhianat dengan teman baikku. Kau melihatku dengan telpon didekat telingamu. Kau kaget, aku tau itu dari wajahmu.

Aku menghapus air mata diwajahku, setelah itu aku pergi menjauh dengan sedan hitam yang aku bawa. Aku kemudikan sedan itu tanpa tujuan, aku kacau. Bahkan, kau pun tak mengejarku. Kau, aku benci kau. Untuk pertama kalinya, aku sangat membencimu, Purna.

Aku tak tau apakah kau menghubungi HP-ku. Yang aku tau, aku menjatuhkan HP itu diparkiran.

Yuni, dia memang tidak merestui hubunganku denganmu, tidak seperti Bilqis. Kudengar dari anak-anak sekolah, kalau Yuni pernah nembak kamu, saat kita udah jadian. Bahkan untuk pertama kalinya, kau melarangku untuk berteman dengan Yuni. Tapi, aku acuhkan itu semua. Aku tetap bersahabat dengannya. Takku sangka, kalian mengkhianati kepercayaanku. Dihari jadi kita yang pertama.

Dua hari setelah kejadian itu, Yuni datang menemuiku. Dia menceritakan, bahwa dulu kalian pacaran, kau rela menjadi pacarnya yang kedua. Padahal kau tau dia sudah memiliki pacar. Kalian saling menyayangi, sampai akhirnya perbuatan kalian ketauan oleh pacar Yuni yang satunya. Yuni memutuskanmu, demi pria itu. Selama ini kau belum bisa melupakannya, makanya kau menjadikanku pacarmu. Aku, aku hanya pelarianmu. Sampai akhirnya, dia meminta kau kembali, kau iyakan. Kalian berselingkuh dibelakangku, kalian kembali bersatu namun membiarkanku menjadi penghalang hubungan kallian. Kau mencium Yuni saat itu, karna kalian mengira aku tak ada disana. Kalian berdua memang brengsek! Dan...aku percaya pada Yuni, karna Yuni tidak pernah berbohong padaku sebelumnya.

Setelah mendengar penjelasan dari Yuni, dan setelah aku bisa menerima kenyataan itu, aku menghubungimu. Aku...aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Kita telah selesai, walauku akui, aku masih sangat menyayangimu, sangat mencintaimu. Kau menolak, awalnya. Tidak, bukan hanya diawal...sampai sekarang pun kau masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kita telah berpisah. Bilqis yang selalu mengatakannya padaku.

Seminggu setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Belanda. Kau tau? Hati kecilku sangat berharap, kau akan datang padaku, menjelaskan segalanya, sebelum aku pergi. Menahanku, agar tetap disisimu. Tapi, kau tak datang menemuiku. Aku pergi, lagi-lagi dengan kekecewaan dan air mata. Pergi kebelahan bumi yang lain. Disitulah aku yakin, kalau kau sudah melepaskanku, menerima keputusanku.

Tapi, aku salah. Selama aku di Belanda, Bilqis selalu bilang kalau, kau sangat membutuhkanku. Kalau kau sangat merindukanku...

Tanpa terasa, pesawat telah mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Hp-ku berbunyi saat aku sedang mencari taksi. Bilqis.

" Bil, aku udah sampe Soekarno-Hatta, sekarang aku lang..."

" Kamu langsung kerumah Purna aja, El," Bilqis memotong ucapanku. Senyum terkembang diwajahku, mendengarnya.

" Purna udah sembuh? Syukurlah, Alhamdulillah, aku kesana sekarang," Telpon langsungku matikan. Aku menggunakan taksi, kini dalam perjalan kerumahmu. Aku akan langsung memelukmu, mengatakan betapa rindunya aku padamu, dan aku akan meminta penjelasan tentang kejadian itu padamu. Aku akan tinggal untuk beberapa hari, mungkin beberapa minggu untuk menghabiskan waktu denganmu. Aku ingin menonton film yang kau buat untukku, berdua saja, ditemani hamparan bintang. Dan aku akan memintamu, agar kamu melanjutkan kuliah di Belanda, bersama denganku.

Sesampainya didepan rumahmu, aku turun dari taksi setelah membayar ongkosnya, untung saja aku masih menyimpan rupia didompetku. Tapi, aku heran. Kenapa banyak orang dirumahmu, dan...kenapa ada bendera kuning? Gak, gak mungkin...gak mungkin.

Dika, sahabatmu sekaligus pacar Bilqis, berdiri hadapanku. Kurasa, dia memang sengaja menungguku. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya, seolah-olah dia mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Dika mengangguk lemas. Dan itu membuatku menjadi lemas, tak sanggup berdiri. Dika memapahku kedalam rumahmu. Air mataku mulai keluar, namun aku tahan sebisaku.

Diruangan yang luas itu, aku melihatmu terbaring ditengah-tengah alunan ayat suci Al Quran. Kau dengan ditutupi kain putih, kain kafan, tersenyum dengan manis, wajahmu bersinar. Aku juga melihat, Mamamu sudah tak sadarkan diri, Papamu yang membacakan surah Yasin, Bilqis yang beberapa kali menghapus air matanya. Dan Jamil yang membaca Yasin sambil menghapus air matanya.

Semua kenangan kita menari-nari diotakku. Aku teringat akan senyumanmu, tawamu, marahmu, kekhawatiranmu, perhatianmu, Kegugupanmu, semua tentangmu. Air mata yang dengan susah payah aku tahan, akhirnya keluar juga dengan deras. Aku mendekatimu, aku ingin memelukmu. Namun, Bilqis menghalangiku, dia bilang, Kalau kau sudah dimandikan. Dan aku akan mengotorimu lagi, jika aku menyentuhmu. Hanya pandangan dan rasa sayangku yang tak akan mengotorimu. Jadi, aku belai kau dengan tatapan dan perasaanku ini. Cukup dengan itu. Semua rencanaku selama ditaksi hilang sudah, rencana memang hanya sekedar rencana, hanya Tuhan yang berkehendak mengabulkan rencana itu atau tidak.

Bilqis menarikku menjauh dari sisimu. Dia dan Dika membawaku kehalaman belakang rumahmu. Aku duduk dibangku gazebo, kulihat Bilqis dan Dika sedang berdebat tanpa suara. Aku yakin, mereka berdebat untuk memutuskan siapa yang akan menjelaskan semuanya padaku. Akhirnya, Dika mendekatiku, mengelus puncak kepalaku. Bilqis pun memelukku dari samping. 

Dika menghela napas berat. Lalu ia menyalakan sebuah video dilaptopnya yang sejak awal sudah berada dimeja gazebo. Di video itu...menampakkan dirimu yang sedang sakit, dengan muka pucat dan selang yang menempel ditubuhmu, yang terhubung dari alat-alat aneh.

" Ayo Purna, udah mulai," Aku kenal suara itu, itu suara Jamil. Kau mengangguk lemah. Lama kau terdiam, sampai akhirnya...

" Umm...ha..hai Elwis, hm...bagaimana keadaanmu?...Elwis, aku minta maaf...aku gak bermaksud ngelakuin itu. Aku emang salah, aku tau itu kesalahan terbesar yang pernah aku lakuin sama kamu. Aku minta maaf, aku...aku bakal nungguin kamu dipintu surga, aku janji. Aku janji gak bakal macem-macem lagi, aku janji...aku janji...aku janji...Jaga diri kamu, Mata Pandaku...I love you..." Mata Panda, sebutanmu ke aku kalo aku kurang tidur. Kau, kau...

" Udah, Pur?" Suara Jamil terdengar lagi, kau mengangguk lemah.

" Jangan diedit, Elwis, dia benci kalo vidio dipotong-potong," Aku terperangah, kau masih ingat semuanya yang aku benci dan aku sukai. Tangisku semakin menjadi. Bilqis memelukku semakin erat.

Dika mengambil nafas panjang.

" Sebelumnya, gue sama Jamil minta maaf ke lo, El..." Dika menghela napas lagi.

"Dia, dia gak salah, El. Yang salah itu gue sama Jamil. Purna nyium Yuni gara-gara kalah tarohan sama gue ama Jamil. Awalnya dia nolak abis-abisan, dia bahkan rela ngasih ninja sama mobilnya buat gue sama Jamil, asalkan dia gak nyium Yuni. Tapi, gue sama Jamil nolak, soalnya...gue sama Jamil juga kalah tarohan dari Yuni, dan Yuni minta...biar gue sama Jamil bikin Purna nyium dia. Dan hari itu, lo bilang lo gak bakal datang ke acara perpisahan, jadi gue sama Jamil nagih ke Purna, awalnya dia gak mau, tapi akhirnya dia mau dengan syarat, lo gak boleh sampe tau, tapi...tiba-tiba lo ada dibelakang gue sama Jamil, dia ngejar lo...tapi, lo gak kekejar, dia kehilangan mobil lo dilampu merah. Di telpon, HP lo ketinggalan, dan gue yang nemuin," Aku terisak-isak menjadi pendengar penjelasan dari Dika. Kembali Dika menghela napas, lalu berlutut didepanku.

" Yuni itu, dia emang gak pernah ngerestuin hubungan lo berdua, karna dulu dia bangga, Purna suka sama dia. Tapi, dia yang nolak Purna mentah-mentah, mungkin niatnya mau bikin Purna ngejar-ngejar dia, tapi...lo tau Purna kayak gimanakan? Sampai akhirnya, lo sama dia jadian, Yuni shock, terus ngajak Purna pacaran dibelakang lo. Jelas, Purna nolak. Gue tau, Yuni ngomong apa ke lo, dia itu cuma ngandelin kepercayaan lo dong, El," Bilqis menceritakan lebih detail, karna melihat wajahku yang protes.

" Tujuh bulan yang lalu, saat dia tau lo bakal pergi ke Belanda. Dia langsung bawa mobilnya ke bandara. Dia bawa mobil ngebut banget. Dia kalap, El. Dia gak mau kehilangan lo, disayang sama lo, dia cinta sama lo dari kelas sepuluh. Hampir satu tahun dia nyimpen perasaannya. Dilampu merah, saking kalapnya dia gak mau kehilangan lo, dia gak ngeliat lampu merah. Dia terobos lampu merah, padahal kendaraan lagi rame-ramenya. Akhirnya, mobil dia ditabrak dari samping sama Truk...Selama enam bulan dia koma. Dan bulan kemaren dia sadar, setelah ngedenger suara lo dari telpon Bilqis, tapi sebelum koma, dia ngelarang siapapun ngasih tau itu ke lo," Iya, aku ingat. Pertama kalinya Bilqis menelponku hanya untuk ngobrol, basa-basi, biasanya dia hanya menelponku jika ada urusan genting denganku.

" Minggu lalu, dia bikin vidio itu sama Jamil. Dan kemaren, dia...dia pengen ngeliat lo, makanya Bilqis bilang apa yang gak boleh Purna bilang, ke lo," Aku menunduk, setetes menjadi beribu tetes air mataku mengalir makin deras. Aku bodoh, aku bodoh tidak mau mendengarkan penjelasanmu saat itu. Dan saat aku mau mendengarnya, bukan kau yang menjelaskan...melainkan Dika, sahabatmu.

Jamil muncul, matanya merah. Aku tau, Jamil dan Dika memang sahabatmu sejak SMP. Dia tersenyum padaku.

" El, sorry buat semuanya. Gue yakin Dika sama Bilqis udah cerita yang sebenernya," Jamil menepuk pundakku pelan.

" Iya, gak usah dibahas lagi," Balasku.

"Ayo, Purna udah mau dimakamin," Setelah Jamil berkata itu, aku, dan yang lain ikut mengiring tubuhmu ketempat peristirahatanmu yang terakhir. Air mataku tak henti-hentinya mengalir.

Dipemakaman, aku melihatmu dibungkus kain putih. 

" Pelan-pelan, kasian Purna," Ucapku, dengan air mata yang terus mengalir.

" Jangan ditutup, kasian Purnanya sendirian, gelap," Ucapku lagi, saat Jamil, Dika, dan Oom Yuri (Papamu) menutupmu dengan beberapa papan kayu. Bilqis memelukku, mencoba menenangkanku.

" Jangan dikubur, kasian...nanti Purna gak bisa nafas, Oom...Kasian Purna Om!!!" Aku berteriak histeris melihat gumpalan-gumpalan tanah itu mulai menguburmu.

" Jangan di injek-injek, Purnanya kesakitan. Dikaa...Jamiill...Tolongin Purna, kasian Purna, kasian..." Aku semakin histeris saat Dika, Jamil, dan Oom Yuri menginjak-injak tanah itu, memadatkannya.

" Purna, jangan tinggalin aku...Jangaann..." Aku memberontak dari pelukan Bilqis, dan berjalan kearah gundukan tanah itu, memeluk nisanmu. Sampai akhirnya...kesadaranku hilang.

Selasa, 13 Agustus 2013

Selamat Tinggal Musuhku.

Aku duduk termenung, bersandar dengan kaki terjulur lurus  memenuhi sofa yang menghadap kearah halaman belakang rumahku. Hujan rintik-rintik yang semakin lama semakin deras menjadi tirai dari jendela yang sedang kupandangi dengan tatapan kosong. Tidak, tidak sepenuhnya tatapan kosong, disana, tempat yang menjadi objek fokus pandangku. Berdiri kau, tapatnya bayanganmu. Karna tidak mungkin saat ini kau berdiri diluar rumahku, dan hujan-hujanan.

Aku tersenyum, mengingat masa-masa saat kau mengganguku. Rasa rindu akan kau yang selalu mengangguku tiba-tiba menyelundup tanpa permisi. Semuanya terulang, didepan mataku.

Kau memaksa masuk dan mengacaukan rapat OSIS yang aku pimpin.

" Evril, gue sayang sama lo! Lo harus jadi cewe gue!" Itu yang kau bilang di depan semua anggota OSIS. Aku yang dulu sangat membencimu, sangat stres menghadapi caramu yang tidak terduga untuk mengungkapkan perasaanmu. Kau memang pria yang disukai banyak perempuan. Tapi, entah mengapa. Justru itu yang membuatku membencimu. Karna kau popular disekolah dan luar sekolah. Alasan yang gak masuk akal memang.

Aku mengambil secangkir coklat hangat diatas meja kecil bundar. Memeluk permukaan cangkir, untuk menghangatkan tubuhku. Bayanganmu tumbuh kembali diingatanku.

Saat itu aku sedang memilih buku disebuah toko buku. Tak ku sangka kau juga ada disana. Seperti biasa, kau mengacaukan agendaku. Aku yang tadinya hanya pergi untuk membeli buku. Harus rela membuang berjam-jam waktuku yang berharga. Yapp...karna kau memaksaku untuk menemanimu nonton dan makan malam. Awalnya aku menolak mentah-mentah, namun kau mengancam akan mempermalukanku didepan banyak orang yang mengunjungi mall itu. Aku tahu ancamanmu itu bukan hanya sekedar ancaman, makanya aku memenuhinya. Itu, secara tidak langsung, itu menjadi kencanku yang pertama, kencan kita yang pertama, juga. Kencan yang aku lakukan dengan penuh keterpaksaan.

Kau, kau tau aku ingin sekali nonton film animasi terbaru. Kau memang selalu tau apa yang aku inginkan, dan selalu kau berikan yang aku inginkan itu. Walau pada akhirnya, aku tak pernah menghargainya. Kau menyebalkan, tapi kau juga tulus mencintaiku.

Saat makan malam, aku kira kau akan mengajakku makan di restaurant. tapi, kau membawaku kerumah makan kaki lima. Dari cara pemilik rumah makan itu melayanimu, aku tau kalau kau sudah sering makan disini.

Sentuhan lembut tangan Mama menyadarkanku dari kenanganku. Mama tersenyum padaku. Ku balas dengan lemah.

" Jangan pikirkan kejadian yang udah berlalu, sayang. Yang penting, kamu baik-baik saja," Ucap Mama, sebari menyetelkan televisi yang menyiarkan film animasi favoritku. Lalu Mama pergi diiringi senyum paksaku.

Ku peluk boneka beruang kesayanganku, hadiah darimu. Satu-satunya benda pemberianmu yang aku simpan. Waktu itu, aku selesai mengerjakan salah satu tugas praktek kimia. Saat aku mau pulang, ternyata, ban mobilku kempes. Kau datang, memarkirkan mobilmu disamping mobilku. Kau, dengan menggunakan jersey futsal tim sekolah, lengkap dengan sepatu futsalmu. Aku tau, kau ketua ekskul futsal. Kau mendekatiku, memperhatikanku dan ban mobilku yang kempes.

" Mau gue gantiin bannya?" Tawar kau, dengan senyummu yang menjengkelkan itu. Terpaksa aku mengangguk, hey...aku kan gak mau sehari penuh disekolah. Jadi, apa salahnya untuk kali ini menerima bantuanmu.

" Tapi, lo harus nerima hadiah dari gue plus disimpen plus jadi kesayangan lo dan plus harus lo peluk kalo lo tidur," Aku manyun mendengarnya, tapi apa boleh buat. Sekolah udah sepi. Aku mengangguk lagi sebagai jawabannya. Kan kau tak akan tau apa yang aku lakukan terhadap hadiah pemberianmu itu. Kau membuka pintu belakang mobilmu. Dan mengeluarkan boneka ini. Sepasang boneka beruang berwarna krem. Dibungkus dengan plastik putih bercorakkan bunga yang berbeda. Kau menyodorkan boneka beruang yang memakai pita padaku.

" Jaga boneka ini, kalo lo sedih ato kangen sama gue. Liat dan peluk aja boneka ini, yang pasangannya biar gue yang jaga," Kau mengatakannya dengan senyum yang tulus, berbeda dengan senyummu yang biasanya. Kau memasukan kembali boneka yang akan kau jaga ke dalam mobilmu. Kau buka jersey yang kau pakai. Dan mulai mengganti ban mobilku yang kempes, tubuhmu yang terawat hanya tertutup kaos oblong berwarna putih. Aku buru-buru mengambil alih pikiranku kembali. Segera saja aku menjauh kekantin, membeli minum. Masih diparkiran, aku melihat kedua sohibmu sedang ngobrol dengan asyik dibawah pohon mangga.

" Si Reza pinter juga yeh, dia yang ngempesin ban mobil si Evril, dia juga yang gantiin," Gika, temanmu yang menjadi kiper andalan tim futsal membuatku kaget dan menghentikan langkahku.

" Ya, Evrilnya juga sih, dikasih apa aja sama Reza, malah ditolak mulu. Akhirnya, Reza make otak deh biar tuh boneka diterima Evril," Udin, sohibmu yang rada-rada, menimpali ucapan Gika. Untuk selanjutnya aku tak mendengar ucapan mereka lagi. Aku berbalik menuju kau. Kau sudah selesai dengan ban. Aku menatapmu kesal. Namun, amarahku hilang, saat aku melihat boneka pemberianmu yang aku letakan didalam mobil.

" Thanks," Ucapku, sebari masuk dan menyalakan mesin mobil. Lucu memang, aku aja bingung, kenapa aku tidak membentakmu saja saat itu. Padahal, awalnya aku sangat kesal dengan caramu itu. Tapi, kau memang selalu membuat masalah denganku, agar kau mendapatkan perhatianku. Aku tersenyum tanpa sadar.

Evral, kembaran laki-lakiku mengejutkanku. Entah datang darimana, kini ia duduk disofa sebelah sofa yang aku tiduri. Tubuhnya basah, mungkin dia abis hujan-hujanan dengan motor kesayangannya. Dia menyodorkan segelas besar coklat panas. Kembaran yang pengertian. Dia ikut menonton animasi denganku. 

Ngomong-ngomong tentang Evral. Aku jadi teringat satu lagi kenangan kita. Saat itu aku sedang berdiri didepan ruang OSIS. Evral datang dan langsung memelukku. Dia merangkulku dan mengatakan pada semua orang bahwa aku dan dia pacaran. Dia memang gila, tapi dia tetap kakak yang berbeda beberapa menit denganku. Dia baru kembali dari Dubai, negara asal Papa. Dia memang tinggal di Dubai bersama Papa, namun kini dia akan melanjutkan kuliah di Indonesia. Evral mengaku-aku sebagai pacarku, karena banyak siswi disekolah yang mendekatinya.

Akhirnya, saat aku dan Evral bertemu denganmu. Kau hanya menggaruk belakang lehermu sambil tertawa canggung, lalu pergi setelah mengucapkan selamat. Kau menjauhiku, aku bersyukur, awalnya. Semakin hari, kau semakin menjauhiku. Buktinya, saat kita papasan ditangga sekolah, biasanya kau akan menghalangi jalanku, menggangguku. Namun, saat itu kau memberiku jalan. Aku melihat matamu. Mata yang dulu penuh semangat dan menatap dengan tajam. Kini berubah menjadi tatapan dingin dan tak bersemangat. Rasa aneh itu datang, aku rindu diganggu olehmu, aku rindu tatapanmu yang dulu, aku rindu celotehan-celotehanmu, dan aku rindu kenjutan-kejutanmu untukku.

" Napa lo? Mikirin Reza?" Pertanyaan Evral yang serentak itu mengagetkanku. Evral menatapku dengan tatapan tajam, tatapan yang dia warisi dari Papa. Aku menunduk.

" Reza itu cowo yang baik, gue setuju lo sama dia. Kalo minggu kemaren dia gak ada, gak tau deh lo udah jadi apaan," Air mataku menetes, kejadian minggu lalu adalah kejadian paling buruk untuk pengalamanku. 

Minggu lalu itu, ada pertemuan antara alumni-alumni yang baru keluar dengan adik-adik kelas mereka yang satu ekskul. Aku yang dulu ketua ekskul musik, ikut bergabung dengan yang lain diruang seni musik. Memberi pengarahan untuk adik-adik baru. Aku keluar paling akhir, membenahi ruangan itu sendirian. Tiba-tiba pintu tertutup, aku melihat Egar, mantan wakil ketua OSIS-ku berdiri didepan pintu. Aku tersenyum lalu hendak keluar ruangan. Langkahku terhenti saat Egar memelukku dengan erat. Aku memberontak.

" Kenapa lo nolak gue, Vril? Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo!" Kalimat itu terus diulangi oleh Egar.

" Egar, lepasin, Egar! Lo apa-apaan sih?" Aku berhasil melepaskan diri, aku berlari menjauh dari Egar. Sial, pintu dikunci. Egar terus mendekatiku, dia berhasil menangkapku. Aku terus memberontak, air mataku sudah membanjiri wajahku saat itu. Egar menarik kaos tangan panjang yang aku kenakan, sampai robek, karena aku yang juga terus melawan. Sia-sia, Egar kembali memelukku dengan paksa. Egar terus menerus mencumbuku. Aku terpojok. Aku duduk dipojok mencoba melindungi diriku. Egar membuka satu persatu kancing kemejanya.

" Egar, pliss jangan. Gue mohon," Aku terisak sambil terus menerus menggumamkan kalimat itu. Egar tak mau mendengarkan ucapanku.

Aku tak fokus. Pandanganku tidak fokus, yang ada hanya kupingku mendengar suara-suara pukulan, dan benda yang hancur. Sampai akhirnya pandanganku kembali fokus, aku melihat kau berlutut didepanku. Aku peluk kau, mencoba mencari perlindungan. Aku tak tau kapan kau mendobrak pintu ruangan itu. Sampai akhirnya kesadaranku hilang. Semuanya menjadi gelap. 

Saat aku mendapatkan kembali kesadaranku. Aku berada didalam mobilmu, tapi kau tak ada didekatku, jaket club bola favoritmu menempel ditubuhku. Pakaian yang aku kenakan ternyata sudah sobek dimana-mana. Kau memang tulus mencintaiku. Kau melindungiku, sangat melindungiku.

Pintu dekat kemudi terbuka, kau masuk dan duduk disana. Kau tersenyum lembut padaku. Aku balas, untuk pertama kalinya aku tersenyum manis untukmu. Keningmu berkerut, mungkin kau heran. Kau mengambil plastik hitam dijok belakang, lalu memberikannya padaku.

" Nih, makan dulu buburnya, satu buat lo satu buat gue," Didalam mobilmu, kita makan bubur ayam berdua, ditemani dengan musik yang mengalun lembut.

" Keluar yuk, suasana kebun teh-nya kerasa banget loh," Aku mengikutimu keluar dari mobil, kau dan aku duduk diatas kap mobilmu. Melihat hamparan kebun teh dan hamparan bintang.

" Sory, gak langsung bawa lo balik, gue cuma..."

" Thanks ya, udah nolongin gue. Dan thanks juga, gak langsung bawa gue pulang, gue pengen refreshing," Aku mengatakannya tanpa menatapmu, aku menatap bintang-bintang saat mengatakannya. Aku takut kau akan melihat wajahku yang memerah jika aku menatap wajahmu.

Lama kita terdiam, sampai akhirnya aku menyandarkan kepalaku dibahumu. Dan tertidur lelap. Saat bangun, ternyata aku sudah berada dikamarku. Aku tau, kau membawaku kekamar, dan menjelaskan semuanya kepada Mama dan Evral.

" Tuh kan, pasti mikirin Reza," Lagi, Evral mengagetkanku. Kenapa tebakannya sesalu tepat sasaran sih?!

Evral melempar HP miliknya padaku. Aku tatap dia dengan bingung.

" Lo telpon dia sekarang, hari ini dia berangkat ke Jepang buat lanjutin kuliahnya. Mending telpon sekarang ato gak sama sekali," Aku bimbang, menatap HP Evral. Sampai akhirnya, aku melempar HP Evral kepada pemiliknya lalu berlari sekuat tenaga.

" Kamu mau kemana, Evril? Hei...jangan hujan-hujanan, kamu masih demam!" Teriak Mama dari ruang keluarga. Aku ambil kunci mobil Evral diatas meja panjang yang terletak diruang tamu. Aku terobos hujan, mendekati mobil sedan sport milik Evral digarasi. Aku pacu mobil itu keluar dari lingkungan rumahku.

" Evriilll...mobil gue baru gue cuci, aduuh...kotor lagi itu, dodol lo!" Teriak Evral, yang terdengar diantara bunyi hujan yang deras. Hujan deras tak menciutkan niatku untuk menghalangi kau pergi dari hidupku. Jalanan kota Jakarta menjadi arena balap untukku, arena balap yang menentukan apakah kau akan tetap disisiku, atau kau akan pergi karena sikapku dulu padamu. Makian-makian dan umpatan-umpatan keluar dari pengguna jalan yang lain dan teralamatkan untukku. Tetap aku tak peduli, yang aku pedulikan hanya, kau, kau, kau, dan kau jangan pergi.

Lampu merah aku terobos begitu saja, untunglah tak ada polisi disana. Aku tambah lagi kecepatan mobil ini. Sampai dibandara, aku parkirkan mobil ini dengan asal. Lalu berlari menjelajahi setiap inci ruangan dibandara ini, mencarimu dengan air mata bergulir dengan deras, sederas hujan yang sedang mengguyur bumi saat ini.

" Jangan pergi, jangan pergi, kumohon. Aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku," Gumamku sebari terus berlari. Satu jam sudah aku mencarimu, namun tak kudapati dirimu. Aku duduk dipinggir jalan dekat dengan jalan masuk keparkiran bandara. Aku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tubuhku menggigil, bukan karena kedinginan setelah hujan-hujanan. Namun, menggigil karena aku menangis.

Aku mencintaimu, aku menyayangimu. Dan aku menyesal, kenapa aku baru sadar sekarang? Saat kau telah pergi kebelahan bumi yang lain. Kalau saja aku punya satu permintaan, aku hanya ingin meminta, agar kau juga tau perasaanku padamu yang sejujurnya.

Aku, dulu aku membencimu karena kau popular, dikagumi banyak perempuan. Didekati banyak perempuan. Iya, aku membencimu karna aku cemburu melihatmu yang dekat dengan perempuan lain. Itu alasan sebenarnya, kenapa aku membencimu.

Sebuah tangan yang kekar merangkulku, aku menoleh dan aku tak percaya. Kau, kau duduk disampingku saat ini, tanganmu yang satunya terjulur menghapus air mataku. Aku berdiri, kau juga. Spontan, aku memelukmu.

" Aku, aku sayang sama kamu, jangan tinggalin aku," Ucapku serak, ya...namanya juga lagi nangis. Taukan?

Kau melepaskan pelukanku, menatapku dengan kening berkerut. Lalu membuang pandanganmu dariku.

" Gue udah gak minat jadi pacar lo," Kalimatmu itu membuatku terperangah. Tapi, aku maklum. Dulu aku yang menolakmu, jadi wajar jika kau menolakku, kini.

Kau menempelkan keningmu pada keningku, membuatku mundur beberapa langkah, kau tersenyum, senyum yang menyebalkan itu lagi.

" Gue gak mau jadi pacar lo, tapi gue mau kita nikah,"

" APA?!" Ucapku, spontan akibat mendengar kalimatmu itu. Kau menjauhakan kembali wajahmu dari wajahku. Melihat sekitar, kau lakukan. Aku masih terperangah.

Kau menarikku, membawaku ketengah-tengah zebracros. Beberapa mobil yang hendak melintas berhenti. Kau berlutut didepanku, lalu mengeluarkan kotak kecil berwarna merah, yang didalamnya berisi sepasang cincin pernikahan.

" Evrillia Yanti Al-Kharl, I love you, will you marry me?" Kau berteriak, semua orang dibandara memperhatikan kita, aku yakin itu.

" Kamu serius ya?" Aku...entahlah aku bingung mau menerimanya atau menolaknya. Yang jelas, goodbye my enemy.