Sinar matahari pagi menyinari wajahku, membuatku terbangun dari tidurku. Aku bangun, membuka gorden dan jendela kamarku. Kurenggangkan tubuh ini, angin mengembus dengan santainya, membelai wajahku. Sudah hampir tujuh bulan ini, aku menetap di Belanda, iya...aku kuliah disini, dan tinggal bersama oma dan opa dari Mamaku. Kupandangi halaman rumah dari jendela, tulip-tulip berwarna-warni bermekaran, menghiasi berbagai sudut perkarangan rumah yang aku tinggali ini, musin semi telah tiba.
Pandanganku berhenti pada bingkai foto yang terletak diatas meja panjang dekat jendela. Kupandangi pigura kau difoto itu. Aku menghela nafas berat, dan kubalikkan foto itu. Aku masih marah padamu, masih kesal, masih kecewa, dan masih...terluka. Sudah tujuh bulan pula, komunikasi kita, aku putuskan. Aku tak tau bagaimana dirimu sekarang di Jakarta. Rindu? Jelas aku sangat rindu padamu. Namun, amarah ini terlalu menekan diriku, agar tak menghubungimu, tak berkomunikasi denganmu, untuk sementara.
Aku bergegas turun, setelah mandi dan bersiap-siap untuk kuliah tentunya. Aku sarapan ditemani oleh oma dan opa. Mereka sangat nenyayangiku, begitupun sebaliknya. Setiap sarapan dan makan malam, kami selalu bersama-sama. Oma juga selalu menjadi tempatku menumpahkan gundahku, tempatku menceritakan segalanya. Memang, aku lebih akrab dengan oma dan opa, ketimbang orangtuaku sendiri, mereka selalu sibuk dengan bisnis mereka di Jakarta.
Aku berangkat dengan diantar oleh oma, dengan menggunakan mobilnya. Ditengah perjalanan, HP ku berbunyi. Bilqis, sobatku menelpon. Pasti ada sesuatu yang terjadi di Jakarta. Aku shock mendengar apa yang dikabarkan oleh Bilqis. Air mataku tumpah.
" Kenapa, Sayang? Kok nangis?" Oma melirikku, aku menatapnya dengan tatapan yang masih shock.
" Oma, aku harus pergi ke Jakarta," Aku menghapus air mataku, oma memberhentikan mobil dipinggir jalan perumahan. Menanyakan apa yg terjadi, setelah aku menceritakan semua yang dikatakan Bilqis, oma langsung mengiyakan permintaanku.
" Kita pulang dulu, kamu ambil paspor sama visa, abis itu kita pergi ke bandara," Oma memutar balik mobil, dan membawaku ketempat tujuanku.
Aku berdiri tak tenang diruang tunggu keberangkatan. Ku genggam kalung pemberianmu yang sudah tujuh bulan tak aku pakai. Dirumah, aku hanya sempat mengambil paspor, visa, dan kalung ini. Bilqis menelponku, lagi.
" El, kamu langsung kerumah sakit Siloam Jakarta aja ya, kalo udah sampe Soekarno-Hatta kabarin aku," Bilqis, kurasa dia sedang sibuk. Bahkan, untuk mengucapkan salam saja dia tidak, dia menelpon hanya untuk bilang itu, dan langsung mematikannya, lagi. Tak lama, semua penumpang keberangkatan Amsterdam-Jakarta memasuki pesawat. Begitu pula aku.
Selama perjalanan Amsterdam-Jakarta, pikiranku terbang kekenangan kita. Saat hubungan kita baik-baik saja.
Dikoridor sekolah, depan kelasku, dulu. Kau didorong beberapa temanmu, mendekatiku yang sedang membaca novel. Semuanya masih menggunakan seragam putih abu-abu. Kau mengajakku ngobrol dengan keringat sebesar jagung didahimu, aku tau kau grogi. Terbukti dengan caramu bicara yang terkesan gagap. Kau mengajakku untuk pulang bersama, aku mengiyakan.
Tapi, kau tidak langsung membawaku pulang. Kau membawaku kesebuah bioskop. Kita nonton. Iya nonton, tapi nonton film yang kau buat sendiri. Film terindah yang pernah aku tonton. Indah, walau hanya berupa film-film animasi pendek romantis yang kau gabungkan dengan akhir berupa tulisan. Tulisan yang membentuk beberapa kalimat. Aku ingat, tidak...aku hapal kalimat itu sampai sekarang.
Film pertama, tentang seorang pria yang hanya bisa memperhatikan seorang wanita yang dicintainya dari jauh. Film kedua, tentang apa itu arti sakit hati saat melihat orang yang kita cintai, namun tak kita miliki, bersama orang lain. Film ketiga, Seorang pria yang tak menyerah mengungkapkan perasaannya, walau sering gagal dalam upaya mengungkapkannya, pria itu tak menyerah, dan keajaiban pun tumbuh. Film keempat, tentang arti menunggu, menunggu yang tak pasti. Dan Film kelima, seorang wanita yang memayungi seorang pria yang sedang kehujanan. Diakhir film itu, tertera beberapa kalimat...
Hidupku takkan berharga jika, aku tak tau apa tujuan hidupku.
Hidupku takkan berwarna jika, tak ada yang memberinya warna.
Hidupku adalah tentang aku yang mencintaimu.
Dan kau...
Kau adalah tujuan hidupku.
Kau lah yang memberikan warna dihidupku.
Kau lah cinta dihidupku.
Hidupku, adalah sebuah upaya untuk memberitahumu, tentang perasaanku padamu.
Temanku, sahabatku, adalah semangat yang membantuku, memberitahumu tentang apa yang aku simpan dihati ini.
Edelweiss...I LOVE YOU.
Aku terkejut, saat itu juga aku menatapmu, yang sedang menatapku. Aku terharu, sampai-sampai, air mataku menetes. Kau genggam tanganku, dan kau, kau memintaku menjadi kekasihmu, tepat tanggal 29 Mei. Semua film animasi itu adalah potret hidupmu, yang susah mengungkapkan perasaanmu padaku.
Aku menghela nafas, air mataku turun lagi. Mengingat semua itu.
Selanjutnya, hari-hari kita lewati dengan canda dan tawa. Awal-awalnya, banyak teman-teman kita yang malakin kamu, minta tlaktiran. Kencan pertama kita, kita lakukan dirumahku, nonton pertandingan club bola kesayangan kita, yang kebetulan, kita sama-sama menjadi pendukung Manchester United. Berdua, ditemani popcorn, kacang, dan minuman.
Terkadang aku jadi ilfil pacaran sama kamu. Kamu anak orang punya, ganteng, baik, pinter, sedangkan aku? Aku ke Belanda pun dengan biaya dari oma dan opa, serta beasiswa.
Saat kau sedang rutin-rutinnya latihan futsal, aku rela, kau cancel semua jadwal jalan kita. Aku juga jadi rutin menemanimu berlatih, menunggumu dipinggir lapangan. Menemanimu walau sampai larut malam. Memberimu sebotol air mineral. Menghapus keringatmu. Menjadi penyemangat untukmu. Menjadi seseorang yang selalu kau butuhkan.
Tapi, saat aku yang sibuk dengan ekskul musikku, kau selalu mengeluh tak mendapatkan waktuku, kau marah saat aku meng-cancel semua agendaku denganmu. Sampai-sampai, aku harus mengatur ulang jadwalku, agar kau mendapatkan waktuku setiap harinya.
Bahkan, saat kau menjadi yang bicara, aku menjadi pendengar yang baik. Semua pengalamanmu, pengalaman cinta khususnya. Sampai-sampai aku ngambek saat itu juga. Kamu langsung berjanji gak ngomongin mantan kamu lagi, saat itu juga. Lucu.
Tapi, saat aku yang sibuk dengan ekskul musikku, kau selalu mengeluh tak mendapatkan waktuku, kau marah saat aku meng-cancel semua agendaku denganmu. Sampai-sampai, aku harus mengatur ulang jadwalku, agar kau mendapatkan waktuku setiap harinya.
Bahkan, saat kau menjadi yang bicara, aku menjadi pendengar yang baik. Semua pengalamanmu, pengalaman cinta khususnya. Sampai-sampai aku ngambek saat itu juga. Kamu langsung berjanji gak ngomongin mantan kamu lagi, saat itu juga. Lucu.
Aku tau kau belum mendapat izin dari orangtuamu untuk pacaran. Tapi, kau malah memantapkan niatmu, untuk memperkenalkanku sebagai pacarmu pada kedua orangtuamu. Aku tau kau ragu, namun kau tutupi rasa ragu itu didepanku. Dan, saat harinya tiba, kau membawaku kerumahmu.
Disana, aku berbincang-bincang dengan Mama dan Papamu. Semua pertanyaan mereka, aku jawab dengan jujur dan dengan senyuman. Tapi, kau tak pernah tau, jika orangtuamu menceritakan kejelekanmu padaku. Yang kau tau hanya, orang tuamu menyukaiku. Itu saja.
Saat bulan Ramadhan, kita berdua mendapatkan undangan bukber. Takku sangka, mantanmu ikut hadir. Disana, kalian ngobrol panjang lebar, seakan-akan aku itu tak ada. Bahkan kau membiarkanku pulang sendiri, sedangkan kau mengantar mantanmu pulang. Seakan-akan, kau belum bisa move on darinya. Menyebalkan! Tapi, kamu selalu marah, ngediemin aku, kalau aku dekat dengan cowo lain. Baik itu sahabatmu ataupun orang lain.
Saat bulan Ramadhan, kita berdua mendapatkan undangan bukber. Takku sangka, mantanmu ikut hadir. Disana, kalian ngobrol panjang lebar, seakan-akan aku itu tak ada. Bahkan kau membiarkanku pulang sendiri, sedangkan kau mengantar mantanmu pulang. Seakan-akan, kau belum bisa move on darinya. Menyebalkan! Tapi, kamu selalu marah, ngediemin aku, kalau aku dekat dengan cowo lain. Baik itu sahabatmu ataupun orang lain.
Setelahnya, tak pernah ada masalah berarti dalam hubungan kita, karna kita saling mengisi posisi masing-masing. Kita bagaikan, pasangan yang paling bahagia.
Namun, semua itu pupus saat malam perpisahan digedung serbaguna yang sekolah kita sewa, tepat tanggal 29 Mei, satu tahun hubungan kita. Awalnya aku memang berniat tidak datang, karna oma dan opa datang dari Belanda. Tapi, mama dan papa menyuruhku pergi, kata mereka, ini adalah pengalamanku sekali seumur hidup. Jadi aku datang.
Di parkiran, aku menelponmu, namun aku salah telah datang kesana. Karna itu, itu menjadi alasan amarahku muncul. Aku, diparkiran, aku melihat kau sedang berciuman dengan Yuni, teman baikku. Didepanku berdiri Dika, dan Jamil yang membelakangiku. Sobatmu. Sambungan telpon tersambung, HP-mu berbunyi, kau mengambilnya. Tanganku terkulai lemas, HP-ku pun terjatuh, air mataku membanjiri wajahku. Sakit hatiku, melihat kau berkhianat dengan teman baikku. Kau melihatku dengan telpon didekat telingamu. Kau kaget, aku tau itu dari wajahmu.
Aku menghapus air mata diwajahku, setelah itu aku pergi menjauh dengan sedan hitam yang aku bawa. Aku kemudikan sedan itu tanpa tujuan, aku kacau. Bahkan, kau pun tak mengejarku. Kau, aku benci kau. Untuk pertama kalinya, aku sangat membencimu, Purna.
Aku tak tau apakah kau menghubungi HP-ku. Yang aku tau, aku menjatuhkan HP itu diparkiran.
Yuni, dia memang tidak merestui hubunganku denganmu, tidak seperti Bilqis. Kudengar dari anak-anak sekolah, kalau Yuni pernah nembak kamu, saat kita udah jadian. Bahkan untuk pertama kalinya, kau melarangku untuk berteman dengan Yuni. Tapi, aku acuhkan itu semua. Aku tetap bersahabat dengannya. Takku sangka, kalian mengkhianati kepercayaanku. Dihari jadi kita yang pertama.
Dua hari setelah kejadian itu, Yuni datang menemuiku. Dia menceritakan, bahwa dulu kalian pacaran, kau rela menjadi pacarnya yang kedua. Padahal kau tau dia sudah memiliki pacar. Kalian saling menyayangi, sampai akhirnya perbuatan kalian ketauan oleh pacar Yuni yang satunya. Yuni memutuskanmu, demi pria itu. Selama ini kau belum bisa melupakannya, makanya kau menjadikanku pacarmu. Aku, aku hanya pelarianmu. Sampai akhirnya, dia meminta kau kembali, kau iyakan. Kalian berselingkuh dibelakangku, kalian kembali bersatu namun membiarkanku menjadi penghalang hubungan kallian. Kau mencium Yuni saat itu, karna kalian mengira aku tak ada disana. Kalian berdua memang brengsek! Dan...aku percaya pada Yuni, karna Yuni tidak pernah berbohong padaku sebelumnya.
Setelah mendengar penjelasan dari Yuni, dan setelah aku bisa menerima kenyataan itu, aku menghubungimu. Aku...aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Kita telah selesai, walauku akui, aku masih sangat menyayangimu, sangat mencintaimu. Kau menolak, awalnya. Tidak, bukan hanya diawal...sampai sekarang pun kau masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kita telah berpisah. Bilqis yang selalu mengatakannya padaku.
Seminggu setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Belanda. Kau tau? Hati kecilku sangat berharap, kau akan datang padaku, menjelaskan segalanya, sebelum aku pergi. Menahanku, agar tetap disisimu. Tapi, kau tak datang menemuiku. Aku pergi, lagi-lagi dengan kekecewaan dan air mata. Pergi kebelahan bumi yang lain. Disitulah aku yakin, kalau kau sudah melepaskanku, menerima keputusanku.
Tapi, aku salah. Selama aku di Belanda, Bilqis selalu bilang kalau, kau sangat membutuhkanku. Kalau kau sangat merindukanku...
Tapi, aku salah. Selama aku di Belanda, Bilqis selalu bilang kalau, kau sangat membutuhkanku. Kalau kau sangat merindukanku...
Tanpa terasa, pesawat telah mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Hp-ku berbunyi saat aku sedang mencari taksi. Bilqis.
" Bil, aku udah sampe Soekarno-Hatta, sekarang aku lang..."
" Kamu langsung kerumah Purna aja, El," Bilqis memotong ucapanku. Senyum terkembang diwajahku, mendengarnya.
" Purna udah sembuh? Syukurlah, Alhamdulillah, aku kesana sekarang," Telpon langsungku matikan. Aku menggunakan taksi, kini dalam perjalan kerumahmu. Aku akan langsung memelukmu, mengatakan betapa rindunya aku padamu, dan aku akan meminta penjelasan tentang kejadian itu padamu. Aku akan tinggal untuk beberapa hari, mungkin beberapa minggu untuk menghabiskan waktu denganmu. Aku ingin menonton film yang kau buat untukku, berdua saja, ditemani hamparan bintang. Dan aku akan memintamu, agar kamu melanjutkan kuliah di Belanda, bersama denganku.
Sesampainya didepan rumahmu, aku turun dari taksi setelah membayar ongkosnya, untung saja aku masih menyimpan rupia didompetku. Tapi, aku heran. Kenapa banyak orang dirumahmu, dan...kenapa ada bendera kuning? Gak, gak mungkin...gak mungkin.
Dika, sahabatmu sekaligus pacar Bilqis, berdiri hadapanku. Kurasa, dia memang sengaja menungguku. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya, seolah-olah dia mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Dika mengangguk lemas. Dan itu membuatku menjadi lemas, tak sanggup berdiri. Dika memapahku kedalam rumahmu. Air mataku mulai keluar, namun aku tahan sebisaku.
Diruangan yang luas itu, aku melihatmu terbaring ditengah-tengah alunan ayat suci Al Quran. Kau dengan ditutupi kain putih, kain kafan, tersenyum dengan manis, wajahmu bersinar. Aku juga melihat, Mamamu sudah tak sadarkan diri, Papamu yang membacakan surah Yasin, Bilqis yang beberapa kali menghapus air matanya. Dan Jamil yang membaca Yasin sambil menghapus air matanya.
Semua kenangan kita menari-nari diotakku. Aku teringat akan senyumanmu, tawamu, marahmu, kekhawatiranmu, perhatianmu, Kegugupanmu, semua tentangmu. Air mata yang dengan susah payah aku tahan, akhirnya keluar juga dengan deras. Aku mendekatimu, aku ingin memelukmu. Namun, Bilqis menghalangiku, dia bilang, Kalau kau sudah dimandikan. Dan aku akan mengotorimu lagi, jika aku menyentuhmu. Hanya pandangan dan rasa sayangku yang tak akan mengotorimu. Jadi, aku belai kau dengan tatapan dan perasaanku ini. Cukup dengan itu. Semua rencanaku selama ditaksi hilang sudah, rencana memang hanya sekedar rencana, hanya Tuhan yang berkehendak mengabulkan rencana itu atau tidak.
Bilqis menarikku menjauh dari sisimu. Dia dan Dika membawaku kehalaman belakang rumahmu. Aku duduk dibangku gazebo, kulihat Bilqis dan Dika sedang berdebat tanpa suara. Aku yakin, mereka berdebat untuk memutuskan siapa yang akan menjelaskan semuanya padaku. Akhirnya, Dika mendekatiku, mengelus puncak kepalaku. Bilqis pun memelukku dari samping.
Dika menghela napas berat. Lalu ia menyalakan sebuah video dilaptopnya yang sejak awal sudah berada dimeja gazebo. Di video itu...menampakkan dirimu yang sedang sakit, dengan muka pucat dan selang yang menempel ditubuhmu, yang terhubung dari alat-alat aneh.
" Ayo Purna, udah mulai," Aku kenal suara itu, itu suara Jamil. Kau mengangguk lemah. Lama kau terdiam, sampai akhirnya...
" Umm...ha..hai Elwis, hm...bagaimana keadaanmu?...Elwis, aku minta maaf...aku gak bermaksud ngelakuin itu. Aku emang salah, aku tau itu kesalahan terbesar yang pernah aku lakuin sama kamu. Aku minta maaf, aku...aku bakal nungguin kamu dipintu surga, aku janji. Aku janji gak bakal macem-macem lagi, aku janji...aku janji...aku janji...Jaga diri kamu, Mata Pandaku...I love you..." Mata Panda, sebutanmu ke aku kalo aku kurang tidur. Kau, kau...
" Udah, Pur?" Suara Jamil terdengar lagi, kau mengangguk lemah.
" Jangan diedit, Elwis, dia benci kalo vidio dipotong-potong," Aku terperangah, kau masih ingat semuanya yang aku benci dan aku sukai. Tangisku semakin menjadi. Bilqis memelukku semakin erat.
Dika mengambil nafas panjang.
" Sebelumnya, gue sama Jamil minta maaf ke lo, El..." Dika menghela napas lagi.
"Dia, dia gak salah, El. Yang salah itu gue sama Jamil. Purna nyium Yuni gara-gara kalah tarohan sama gue ama Jamil. Awalnya dia nolak abis-abisan, dia bahkan rela ngasih ninja sama mobilnya buat gue sama Jamil, asalkan dia gak nyium Yuni. Tapi, gue sama Jamil nolak, soalnya...gue sama Jamil juga kalah tarohan dari Yuni, dan Yuni minta...biar gue sama Jamil bikin Purna nyium dia. Dan hari itu, lo bilang lo gak bakal datang ke acara perpisahan, jadi gue sama Jamil nagih ke Purna, awalnya dia gak mau, tapi akhirnya dia mau dengan syarat, lo gak boleh sampe tau, tapi...tiba-tiba lo ada dibelakang gue sama Jamil, dia ngejar lo...tapi, lo gak kekejar, dia kehilangan mobil lo dilampu merah. Di telpon, HP lo ketinggalan, dan gue yang nemuin," Aku terisak-isak menjadi pendengar penjelasan dari Dika. Kembali Dika menghela napas, lalu berlutut didepanku.
" Yuni itu, dia emang gak pernah ngerestuin hubungan lo berdua, karna dulu dia bangga, Purna suka sama dia. Tapi, dia yang nolak Purna mentah-mentah, mungkin niatnya mau bikin Purna ngejar-ngejar dia, tapi...lo tau Purna kayak gimanakan? Sampai akhirnya, lo sama dia jadian, Yuni shock, terus ngajak Purna pacaran dibelakang lo. Jelas, Purna nolak. Gue tau, Yuni ngomong apa ke lo, dia itu cuma ngandelin kepercayaan lo dong, El," Bilqis menceritakan lebih detail, karna melihat wajahku yang protes.
" Yuni itu, dia emang gak pernah ngerestuin hubungan lo berdua, karna dulu dia bangga, Purna suka sama dia. Tapi, dia yang nolak Purna mentah-mentah, mungkin niatnya mau bikin Purna ngejar-ngejar dia, tapi...lo tau Purna kayak gimanakan? Sampai akhirnya, lo sama dia jadian, Yuni shock, terus ngajak Purna pacaran dibelakang lo. Jelas, Purna nolak. Gue tau, Yuni ngomong apa ke lo, dia itu cuma ngandelin kepercayaan lo dong, El," Bilqis menceritakan lebih detail, karna melihat wajahku yang protes.
" Tujuh bulan yang lalu, saat dia tau lo bakal pergi ke Belanda. Dia langsung bawa mobilnya ke bandara. Dia bawa mobil ngebut banget. Dia kalap, El. Dia gak mau kehilangan lo, disayang sama lo, dia cinta sama lo dari kelas sepuluh. Hampir satu tahun dia nyimpen perasaannya. Dilampu merah, saking kalapnya dia gak mau kehilangan lo, dia gak ngeliat lampu merah. Dia terobos lampu merah, padahal kendaraan lagi rame-ramenya. Akhirnya, mobil dia ditabrak dari samping sama Truk...Selama enam bulan dia koma. Dan bulan kemaren dia sadar, setelah ngedenger suara lo dari telpon Bilqis, tapi sebelum koma, dia ngelarang siapapun ngasih tau itu ke lo," Iya, aku ingat. Pertama kalinya Bilqis menelponku hanya untuk ngobrol, basa-basi, biasanya dia hanya menelponku jika ada urusan genting denganku.
" Minggu lalu, dia bikin vidio itu sama Jamil. Dan kemaren, dia...dia pengen ngeliat lo, makanya Bilqis bilang apa yang gak boleh Purna bilang, ke lo," Aku menunduk, setetes menjadi beribu tetes air mataku mengalir makin deras. Aku bodoh, aku bodoh tidak mau mendengarkan penjelasanmu saat itu. Dan saat aku mau mendengarnya, bukan kau yang menjelaskan...melainkan Dika, sahabatmu.
Jamil muncul, matanya merah. Aku tau, Jamil dan Dika memang sahabatmu sejak SMP. Dia tersenyum padaku.
" El, sorry buat semuanya. Gue yakin Dika sama Bilqis udah cerita yang sebenernya," Jamil menepuk pundakku pelan.
" Iya, gak usah dibahas lagi," Balasku.
"Ayo, Purna udah mau dimakamin," Setelah Jamil berkata itu, aku, dan yang lain ikut mengiring tubuhmu ketempat peristirahatanmu yang terakhir. Air mataku tak henti-hentinya mengalir.
" Iya, gak usah dibahas lagi," Balasku.
"Ayo, Purna udah mau dimakamin," Setelah Jamil berkata itu, aku, dan yang lain ikut mengiring tubuhmu ketempat peristirahatanmu yang terakhir. Air mataku tak henti-hentinya mengalir.
Dipemakaman, aku melihatmu dibungkus kain putih.
" Pelan-pelan, kasian Purna," Ucapku, dengan air mata yang terus mengalir.
" Jangan ditutup, kasian Purnanya sendirian, gelap," Ucapku lagi, saat Jamil, Dika, dan Oom Yuri (Papamu) menutupmu dengan beberapa papan kayu. Bilqis memelukku, mencoba menenangkanku.
" Jangan dikubur, kasian...nanti Purna gak bisa nafas, Oom...Kasian Purna Om!!!" Aku berteriak histeris melihat gumpalan-gumpalan tanah itu mulai menguburmu.
" Jangan di injek-injek, Purnanya kesakitan. Dikaa...Jamiill...Tolongin Purna, kasian Purna, kasian..." Aku semakin histeris saat Dika, Jamil, dan Oom Yuri menginjak-injak tanah itu, memadatkannya.
" Purna, jangan tinggalin aku...Jangaann..." Aku memberontak dari pelukan Bilqis, dan berjalan kearah gundukan tanah itu, memeluk nisanmu. Sampai akhirnya...kesadaranku hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar