Jumat, 13 Desember 2013

KEBENARANNYA

" Kamu pernah denger gak, kata-kata ini. Cinta itu bukan seberapa lama kita bertahan untuk memiliki, tapi seberapa besar hati kita mencintai dengan tulus," Kamu, yang sejak tadi menungguku selesai dari ekskul basket, langsung menanyakan hal itu padaku, saat aku telah duduk di depanmu. Aku menggeleng. Tanganmu menghapus keringat diwajahku dengan tisu yang selalu ada saat kamu menemaniku berlatih basket.

" Aku juga baru denger itu dari temenku," Tambahmu. Sebenarnya, pertanyaanmu itu seperti sesuatu yang menganjal dipikiranku. Biasanya, kamu selalu menanyakan " Gimana latihannya?" Sebagai pembuka pembicaraan saat aku mendatangimu sehabis latihan basket, seperti ini. Namun kini berbeda.

" Yang, kalau misalkan kamu punya burung merpati yang bagusss banget,  kamu sayang sama burung itu, dan burung itu kamu kurung. Tapi, kamu tau kalo burung itu pengen bebas, pengen nyari pasangannya, apa yang bakal kamu lakuin?" Aku mengerutkan dahiku, mengambil air mineral yang kamu sodorkan.

" Hm... Aku lepasin," Jawabku, lalu menengguk air itu setengah abis.

Sinar diwajahmu meredup saat aku menjawab pertanyaanmu.

" Kamu...Apa kamu bakal bahagia kalau... Kalau aku bebasin kamu?" 

Aku batuk, tersedak minuman. Benar apa firasatku sejak tadi. Walau kamu bicara dengan suara yang pelan dan sambil menunduk, aku tetap bisa mendengarnya dengan jelas, sangat jelas seolah-olah kamu berteriak ditelingaku.

" Kamu ngomong apa sih? Kamu mau putus? Aku gak mau," Aku bicara saat batukku sudah reda. Kutatap mata kamu dengan seksama. Kamu masih menunduk.

" Aku sayang sama kamu, tapi aku udah gak tahan sama sifat kamu, aku ngerasa kalo kamu ga punya perasaan yang sama ke aku... Aku udah nyoba buat ngertiin kamu, tapi kamu..." Untuk selanjutnya aku hanya duduk diam. Diam, bukan berarti aku mendengarkan semua ucapanmu. Aku diam, karna aku tak bisa menyangkal semua perkataanmu yang merupakan fakta tentang diriku.

Sampai pada akhirnya, aku merasakan kamu mengenggam tanganku. Aku kembali mendengar. Kulihat wajahmu yang tersenyum. Aku tahu itu hanya sebuah senyuman palsu agar aku tak melihat betapa hancurnya hatimu. Kamu menghembuskan nafas.

" Kita temenan aja ya?" Aku diam, tak mau menjawab. Kamu tetap tersenyum, kamu kuatkan genggaman tanganmu.

" Aku sayang sama kamu, kalo kita pacaran, aku bakal cemburu dan marah kalo kamu deket sama cewe lain, tapi...dengan kita temenan, aku juga sayang sama kamu, aku bisa cemburu sama kamu, tapi aku gak bisa marah sama kamu," Lanjutmu, aku diam. Aku tak mau bicara, aku gak mau putus sama kamu! 

" Udah mau magrib, aku pulang duluan ya,?" Ucapmu. Kamu berdiri, melepaskan genggaman tanganmu dari tanganku. Takku biarkan kamu menjauh dariku. Aku genggam erat tanganmu. Aku ikut berdiri.

" Kasih aku kesempatan kedua," Kesempatan kedua? Bukan...aku, jika kamu memberikanku kesempatan lagi, ini adalah kesempatan keseribu yang kamu berikan. Kamu tersenyum. Senyum manis, namun menurutku adalah senyuman yang menyayat hatiku.

" Kamu bakal bahagia dan belajar menghargai dengan perempuan yang lebih baik dariku," Ucapmu, mengelus pipiku dengan lembut. Kamu coba lepaskan genggamanku. Aku eratkan.

" Aku antar kamu pulang," Aku menarikmu. Namun kamu diam ditempat, membuatku berbalik dan menatapmu heran. Matamu, sorot matamu yang biasanya lembut kini menegang, tubuhmu terlihat sangat kaku. Untuk, beberapa menit kamu hanya diam, sampai kamu menggeleng.

" Aku pulang naik bus aja, lagian arah rumah kita berlawanan," Kamu lepaskan gengamanku, lalu berlalu dari hadapanku begitu saja. Aku khawatir, saat melihat jalanmu yang sempoyongan, berpegangan pada benda yang ada disekitarmu. Apa yang terjadi padamu? Apa kamu sedang sakit? Atau karena aku? Aku diam memperhatikan dirimu.

Dulu, saat kamu menungguku selesai latihan basket, aku selalu sibuk dengan teman-temanku, sehingga tak bisa mengantarmu pulang. Kini saat aku ingin mengantarmu, kamu yang menolaknya. Aku diam, menatap punggungmu yang semakin lama semakin menjauh. Seperti dirimu yang kini jauh dari genggamanku.

Seperti aku yang dulu tak peduli padamu yang terbaring lemah diranjang rumah sakit selama berbulan-bulan, tanpa membuka mata, tanpa kamu tahu bahwa kedua orangtuamu sudah pergi jauh. Tanpa kamu tahu, kamu akan hidup dengan siapa, nantinya. Tanpa kamu tahu, aku membawa wanita lain kehadapanmu saat kamu koma. Tanpa kamu tahu, aku menghianatimu saat kamu tertidur lelap, bukan, bukan hanya saat kamu tertidur, saat kamu sadar pun, aku tetap mengkhianatimu.

Dan sampai sekarang, aku masih belum tahu kamu tinggal bersama siapa, karena aku tidak pernah peduli, dan kamu tidak pernah menceritakannya.

***

Sudah dua minggu sejak kita berpisah. Kamu, kamu bilang...kita akan menjadi teman, namun apa yang terjadi? Kamu selalu menghindar dariku, menjauhiku. Dan selama dua minggu ini, aku sudah menjalin hubungan dengan tiga siswi yang termasuk idola dikalangan siswa. Semuanya tak ada yang sama denganmu dalam menghadapi sikapku, jangankan sama. Mendekati sikap sabarmu saja tak ada. Mereka semua...menyebalkan. Sehingga hanya beberapa hari saja aku menjalin hubungan dengan mereka.

Kamu, aku tak tahu jika banyak siswa yang menyukaimu. Mereka kini mendekatimu. Iya...aku selalu memperhatikanmu. Siswa-siswa itu selalu mencari perhatianmu. Membantumu. Tidak sepertiku yang selalu mengabaikanmu.

Aku duduk didepan kelasku, saat kelas lain sedang belajar, kelasku tak ada guru. Tak sengaja aku melihatmu sedang berjalan sendirian didepan koridor kelas 11. Koridor yang menghubungkan antara kelas 11 IPA dan 11 IPS ke ruang guru, kopsis, dan toilet.

Aku tau, kamu sengaja keluar kelas. Kini aku hapal pada tabiatmu yang selalu keluar saat pelajaran. Untuk membuang rasa kantuk pada jam-jam terakhir pelajaran disekolah. Aku selalu memperhatikanmu setelah kita berpisah. Hampir setiap hari kamu masuk ruang kesehatan, pingsan dan lainnya. 

Saat minggu kemarin juga, hatiku mencolos saat melihatmu ditempat pertandingan basket. Kamu menemani Doni, bertanding basket. Jujur aku iri, dulu aku yang menolak saat kamu mau menemaniku bertanding basket. Aku hanya mengizinkanmu melihatku berlatih basket, itu pun jika berlatih dilapangan sekolah. Karna, aku tak mau kamu menjadi penghalang, jika ada wanita yang lebih darimu ditempat aku bertanding basket. Namun kini aku yang iri, melihatmu mendampingi pria lain bermain basket. Apalagi, pria itu adalah kapten tim basket sekolah yang menjadi rival tim basket sekolah kita.

***

Aku berjalan dengan sobatku, Han. Disamping gerbang sekolah, aku melihat seorang nenek dan cucu-nya dengan pakaian usang. Beristirahat disana. Terus berjalan. Menelusuri seluruh seluk beluk sekolah yang sudah sepi. Saat itulah aku melihatmu yang sedang membeli nasi dan lauk pauknya dikantin sekolah. Dijam pulang seperti ini kamu membeli makanan. Setahuku, kamu selalu membawa bekal kesekolah. Han pergi menuju lapangan basket, tempat anak basket lainnya berkumpul untuk berlatih. 

Ah, minggu depan kita akan mengikuti ujian akhir sekolah. Aku tidak yakin akan dapat fokus ke ujian jika sampai saat ini saja aku masih menyesali masa laluku padamu, masa lalu hubungan kita.

***

 Aku buntuti kamu yang pergi membawa dua bungkus nasi. Aku bersembunyi dibalik pintu gerbang saat kamu berhenti didepan gerbang sekolah. Kamu berikan dua bungkus nasi itu pada nenek dan cucunya yang duduk disamping gerbang sekolah yang aku lihat tadi. Aku terpana. Kamu yang hidup sendirian, kerja paruh waktu untuk menghidupi dirimu sendiri saja mampu memberikan makanan untuk orang yang membutuhkan, namun aku? Aku yang merupakan anak tunggal dari pengusaha sukses, tak mampu memberikannya.

Kamu berdiri membelakangiku, tak lama sebuah motor matic berhenti didepanmu. Aku perhatikan dengan seksama. Aku tak berkedip sedikitpun. Dia...dia yang dulu hendak mengambil kamu dariku. Dia, pria yang selalu membuatku cemburu, sehingga aku ingin membuatmu cemburu juga.

Kamu berbincang-bincang sebentar didepan gerbang, tertawa, tersipu. Seperti, kamu tak punya beban sama sekali jika bersamanya. Aku mendengar semua yang kamu bicarakan dengannya. Karna, aku berdiri dibelakangmu, tepat dibelakangmu, yang hanya ada sebuah tembok pagar yang menghalagi. Kalian terdiam. Sampai...

" Sya..." Sya...itu panggilan sayangku untukmu. Namamu Ranisya Aulia. Teman-temanmu memanggilmu Rani, tapi aku memanggilmu Sya. Kenapa kamu izinkan pria itu memanggilmu dengan sebutan yang aku berikan? Apakah dia juga spesial untukmu, sehingga kamu mengizinkannya?

" Sya...aku sayang sama kamu, kamu ma..."

" Pergi sekarang yuk Don, udah sore, nanti aku telat," Aku tercengang, aku tahu kalau kamu tahu apa sebenarnya ingin Doni, temanmu, katakan. Tapi, kamu memotongnya. Apakah hatimu masih untukku? Apakah sebenarnya, hatimu masih bersamaku? Aku bingung. Karna hanya kamulah yang tahu jawabannya. tapi, telat? telat untuk apa?

Aku mendengar suara motor yang menjauh. Kamu dan dia berlalu. Aku berjalan dalam diam. Aku duduk ditempat saat dua minggu lalu saat kau memutuskanku. Semua kenangan tentang kita, kenangan yang membuatmu memutuskanku. Bersiar ulang dalam ingatanku.

Saat pertama kali aku mulai mendekatimu. Kamu tak merespon sedikitpun pendekatanku. Kamu acuhkan aku, abaikan aku, jutek, judes, tapi itulah yang membuatku ingin mendapatkanmu. Kamu berbeda dengan wanita lainnya.

Ku akui, aku memang playboy. Tak sulit untukku menaklukkan wanita. Kecuali dirimu. Dan setelah aku mendapatkanmu, aku abaikan dirimu, aku acuhkan dirimu, dan kini...aku menyesal akan masa laluku.

Aku ingat, saat kamu pertama kalinya memergokiku selingkuh. Kamu diam berminggu-minggu. Tak menganggap aku ada. Kau tahu? Aku tak tenang saat kamu mendiamkanku sedemikian rupa, dulu aku enggan mengakuinya, namun kini aku akui. Bahwa aku, hidupku terasa hambar jika kamu mendiamkanku. 

Selalu aku menyakiti dirimu, saat kamu membawakanku bekal ketika aku latihan basket. Masakanmu sendiri. Dan, saat kamu pergi untuk ekskul musik. Aku berikan nasi goreng spesial buatanmu pada teman-temanku. Yang menurut mereka, sangat enak. Saat kamu kembali, aku kembalikan kotak bekalmu, dan bilang kalau masakanmu enak sekali, padahal aku tak mencicipinya sedikitpun. 

Aku menghela napas, sesal menghantui diriku. Aku sadar, aku mencintai kamu, aku sadar saat kamu sudah tak lagi menjadi kekasihku. Sebuah bola basket melayang kepadaku, aku tangkap. Aku menanggah, dan aku melihatmu disana. Berdiri diam menatapku. Aku tersenyum, dan senyum itu hilang kala aku berkedip, dan melihat Han berdiri ditempatmu tadi berdiri. Dia mengisyaratkanku, agar cepat ikut berlatih.

Selama berlatih aku tak mampu fokus pada latihan. Setiap detik, bayanganmu dengan Doni muncul dipikiranku, seperti siaran tivi yang diulang berulang kali.

***

Dua minggu setelah ujian akhir sekolah, dan lebih dari seminggu aku tidak pernah melihatmu disekolah, tidak pernah melihat Doni menjemputmu, lagi. Aku rindu, walau hanya memandangimu dari jauh, tapi aku rindu suasana dimana hatiku damai juga bergejolak. Sensasi aneh yang hanya bisa aku dapatkan darimu.

Ahh...aku menyerah, akan aku temui dia!
Aku menatap gerbang sekolah yang ada dihadapanku, aku menunggu dia. Dia yang memang selalu dekat denganmu. Doni, dia keluar dengan motor matic-nya. Aku berdiri menghalangi jalannya. Aku tanyakan keberadaan dan keadaan dirimi, tapi dia diam menatapku tidak suka, memakiku sebentar, kemudian pergi. Setiap hari aku temui dia, meminta jawaban dari dia, seperti seorang pengemis yang tidak makan selama beberapa minggu.

Aku pergi kerumahmu, tapi saat sampai disana aku ingat, rumah itu kini dihuni oleh orang lain, dan aku tidak tahu kamu tinggal dimana. Ah...aku memang bodoh! Sangat bodoh!

Esoknya, aku datangi kelasmu, menanyakan keberadaan dan keadaanmu. Tapi, sebuah berita besar mengusik ketenanganku, membuat emosiku meledak. Berita bahwa setelah kamu mengikuti ujian akhir sekolah, kamu tidak pernah datang kesekolah, kamu sering terlihat di klub-klub malam, bermain dengan laki-laki hidung belang, dan yang paling membuatku meledak adalah berita kalau kamu...hamil diluar nikah, dan yang menghamilimu adalah...Doni, brengsek! Aku tinju dinding kelasmu saat aku mendengarnya. Aku kalap, aku pergi menemui Doni disekolahnya.

Aku hajar dia didepan teman-temannya, tapi kamu tahu? Dia diam tidak membalas setiap pukulanku, dia juga melarang teman-temannya untuk membantu. Dia hanya diam, menerima makian-makian dan pukulan-pukulan dariku. Tapi itu membuatku makin kesal, dia tidak menjawab semua pertanyaanku. 

Aku bangkit dari atas tubuhnya yang aku pukuli, dia terlentang menatap langit dengan. Saat aku memunggungi, dia terkekeh pelan. Aku berbalik lagi, menatapnya berang, matanya masih menatap langit.

" Lo tau, Yan? Gue gak bakal pusing kalo yang dipikirin sama lo itu bener," Ucapnya dengan santai, semua temannya hanya duduk dibawah pohon, memandangi kearah kami berdua. kamu tahu, pertanyataan dia membuatku semakin tidak mengerti permasalahan sebenarnya.

Aku diam, mendengarkan semua cerita yang diceritakan oleh Doni mengenai dirimu. Dia, menceritakan tentang hidupmu, dia mengetahui semua tentang dirimu melebihi diriku, aku sangat tertinggal jauh olehnya.

Dia memberitahuku kalau kamu tidak hamil diluar nikah, semua gosip itu kamu sebarkan agar aku membenci dirimu. Agar aku dapat melupakanmu, tapi sebegitu besarkan keinginanmu untuk melupakanku? Dia juga memberitahuku, kalau selama ini kamu tinggal dengan keluarganya, orangtua Doni adalah sahabat orangtuamu. Saat mengetahui itu semua, sungguh aku telah mengutuk diriku sendiri beribu-ribu kali. 

Doni berdiri sambil meringis, aku perhatikan wajahnya yang sudah tidak berbentuk. Dan tanpa seperkiraanku, dia meninju wajahku, membuatku terjengkang kebelakang.

" Itu gue kasih buat bales sakit hati Sya," Ucapnya dengan enteng, " Yo, gue anter lo ketemu sama Sya, tapi jangan kaget kalo dia gak mau ketemu sama lo, atau, benci sama lo, atau yang lebih parah...gak ngenalin lo," Sumpah, ucapan Doni membuatku takut sekaligus penasaran dengan kondisi dirimu, aku dan dia pergi dengan mobilnya, aku yang mengemudi karena pandangan dia buram setelah aku pukuli tadi.

Selama perjalanan, aku terus menebak-nebak kondisimu, sebegitu bencinyakah dirimu padaku, sehingga Doni bilang kamu tidak mau menemuiku, atau mengenaliku lagi.

Mobil yang aku bawa berhenti dirumah sakit.

" Don, apa sebegitu sakitnya gue pukulin sampe kerumah sakit? Gue..."
" Brisik lo! Pukulan lo mah kaga ada apa-apanya," Doni memotong ucapanku, dia keluar diikuti olehku, aku dan dia berjalan dengan dia memimpin didepan, tiba di sebuah kamar pasien dengan namamu tertera disana, aku langsung menatap Doni meminta penjelasan. Doni mengendikan kepalanya, saat membuka pintu, menyuruhku masuk setelah dirinya. 

Disana, aku melihatmu sedang tertidur dengan jarum infus menancap pada tanganmu. Didalam, ada sepasang suami isteri, dari jas yang digunakan pria tua itu, aku bisa tahu kalau dia adalah seorang dokter.

" Ya ampun, Don, kamu kenapa babak belur begitu?" Wanita yang aku tebak adalah Ibu Doni memeriksa setiap inci wajah anaknya itu.

" Pa, Ma, gimana kondisi Sya?" Doni tidak menjawab pertanyaan Ibunya, dilihat dari kondisi mereka, terlihat jelas kalau mereka sangat menyayangimu. Doni mendekati mereka, berbicara pada mereka. Sedangkan aku memperhatikanmu dengan seksama.

" Yan," Doni memanggilku, membuatku melepaskan pandanganku darimu. Aku tahu itu isyarat agar aku mengikutinya dan Papanya. 

Sampai diruangan Papa Doni, aku duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kerja Papanya. Sementara Doni sedang diobati oleh Papanya. Stelah selesai, Doni duduk dikursi yang berada disampingku. Sementara Papanya duduk di kursi kerjanya.

" Kondisi Sya makin buruk, ingatannya makin hari makin berkurang, fungsi syaraf geraknya sudah tidak berfungsi, Papa ragu kalau Sya akan selamat, Don," Ujar Papa Doni sambil menunduk putus asa. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa masih banyak yang tidak aku ketahui tentangmu? Ah, seseorang, siapa saja tolong jelaskan permasalahannya padaku!

Papa Doni keluar dari ruangannya, memberikan waktu pada anaknya untuk menjelaskan semuanya. Doni menghela nafas berat.

" Dia, akibat kecelakaan yang mengambil nyawa orangtuanya, Sya mengalami koma selama beberapa bulan, lalu dia sadar, tapi, kondisinya semakin buruk. Papa akhirnya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan pada tubuhnya, dan diketahui kalau benturan dikepalanya begitu keras dan berulang kali terjadi. Sehingga menyebabkan dia mengalami penurunan dalam mengingat dan menggerakkan tubuhnya," Aku diam tidak percaya, selama ini kemana saja aku sampai-sampai aku tidak mengetahui kondisimu yang buruk. Doni berdiri, lalu berjalan kearah belakangku, membuat aku dan dia saling memunggungi.

" Dia, dia mutusin lo, bukan karena dia udah gak tahan sama sikap lo, tapi karena dia gak mau bikin lo kecewa nantinya, bikin lo ngutuk diri lo sendiri karena gak tau kondisi pacarnya sendiri," Yah, aku sudah merasakannya, kekecewaan pada diriku sendiri yang begitu besar, mengutuk diriku sendiri sedemikian rupa.

" Dia nyebarin gosip-gosip tentang dia, buat bikin lo benci sama dia," Aku berdiri, berlari menuju ruanganmu. Aku buka pintu itu dengan satu hentakan. Kamu disana, duduk tenang dengan bersandarkan pada ranjang diangkat bagian pinggang keatas. Kamu diam memperhatikan langit dari jendela kamar rawatmu. Sampai aku berjalan mendekatimu, kamu baru sadar akan kehadiranku, kamu menatapku bingung.

Pipi itu kini menjadi cekung, aku yakin berat tubuhmu pastilah berkurang derastis. Sorot pandangmu yang biasanya lembut bersemangat, kini redup dan dingin. Bibirmu bergerak, mengucapkan sebuah pertanyaan yang membuatku tercengang. 

" Kamu...siapa?" Pertanyaan yang membuatku berhenti bernafas selama beberapa detik, membuatku merasakan fungsi tubuhku mati untuk sesaat.

" Dia Tyan orang yang kamu sayangin, pacar kamu," Aku menoleh kebelakang, dan mendapati Doni sedang bersandar pada daun pintu yang tertutup. Kamu juga menatapnya dan menggumamkan namanya, lalu menatapku dengan senyumanmu. Melambaikan tanganmu, menyuruhku untuk mendekat. Aku mendekat, dan aku juga mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.

" Maaf, aku melupakanmu," Gumammu, saat aku sudah duduk dipinggir ranjang rawatmu. Kamu memelukku, menenggelamkan wajahmu didadaku. Aku merasakan kehangatan juga kedinginan secara bersamaan. Kehangatan karena aku bisa menyentuhmu lagi, dan kedinginan karena aku takut kehilanganmu, lagi. Aku belai rambutmu, hidungku menyesapi setiap bau tubuhmu, aku akan ingat bau ini selama hidupku.

Aku ingin meminta maaf padamu, tapi bibir ini tidak mampu untuk bergerak, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Hanya mataku yang mampu berucap dengan air mata. Aku menangisi kebodohan diriku sendiri.

" Ceritakan semua tentang kita, aku ingin mengingat semuanya," Pintamu, membuatku diam. Aku takut jika aku menceritakan semuanya, kamu akan kembali membenciku. Akhirnya, aku menceritakan hal-hal yang menurutku baik untukmu, baik agar kamu tidak membenciku.

***

Setiap hari setelahnya, aku selalu mejengukmu, melindungimu, menjagamu. Saat kamu sudah tidak berjalan, aku yang menjadi kakimu, saat tanganmu tidak bisa digerakkan, aku yang menjadi tanganmu. Aku menikmati detik demi detik yang aku lalui bersamamu. Menuurut Papa Doni, kondisimu semakin membaik. Dan itu membuatku sangat senang, dan berharap kamu akan selalu bersamaku.

Dan hari ini, kamu menyambutku seperti biasa. Dengan senyumanmu.
" Aku ingin pergi," Ucapmu, saat aku sudah berada disampingmu.
" Baiklah, kita..."
" Aku ingin pergi ke padang ilalang, tempat kamu nebak aku," Potongmu, aku menatapmu dengan pandangan heran. Aku berdebat denganmu, aku tidak mau membahayakan kondisimu! Tapi, aku mengalah kala kamu mendiamkanku, aku meminta izin pada Papa Doni, dokter yang menanganimu. Dan dengan usaha keras, akhirnya aku mendapatkan izin itu.

***

Aku membawamu ketempat itu dengan meminjam mobil Doni, kamu dengan kursi roda itu, aku mendorong kursi yang kamu duduki itu diantara ilalang-ilalang setinggi diriku. Kamu tertawa, tersenyum, seakan kamu akan baik-baik saja.

Sampai dipinggir sebuah sungai, aku berhenti mendorong kursi roda itu, kamu memintaku untuk membantumu duduk diatas rumput. Seharian itu, aku dan kamu seakan kembali kesatu tahun lalu, saat aku mendapatkanmu. Hingga senja datang.

" Tyan, puncak kebahagiaan seorang wanita itu adalah menikah," Ucapmu, membuatku menatapmu heran, kamu tetap menatap lurus kedepan, " Dan cinta Sya untuk Tyan adalah cinta yang singkat, dimana aku ingin menikahimu," Lanjutmu, membuatku menahan nafasku karena senang.

Kamu memelukku dari samping, lalu dengan kedua tangan yang kamu kalungkan keleherku, kamu menatapku dengan senyum itu. Aku juga menatapmu.

" Beberapa hari lalu, kamu menanyakan kenapa aku menyembunyikan semua ini darimu, kan?" Tanyanya, aku mengangguk mengiyakan. Air matamu turun.

" Karena, aku tahu, sangat sulit mengucapkan selamat tinggal sambil tersenyum untukmu, maka dari itu aku putuskan untuk menyembunyikan semuanya darimu," Jawabmu. Membuatku terbelalak.

" Kamu gak akan aku izinin ngucapin selamat tinggal..." Ucapanku terpotong, kamu...kamu memberikan ciuman pertamamu untukku, aku diam sampai kamu melepaskan ciuman itu. Aku melihatmu yang tertunduk didadaku. Memelukku.

" Selamat tinggal," Saat kamu mengucapkan kalimat perpisahan itu, aku tidak dapat merasakan hembusan nafasmu lagi, aku tidak merasakan degup jantungmu lagi, dan aku merasakan pelukan lenganmu pada.

" Jangan pergi...jangan pergi! Kumohon, jangan bercanda! Kembali..." Aku menangis sambil meraung kesakitan, melihatmu pergi lagi dari pelukanku. Apa aku memang tidak pernah pantas untukmu?

Rabu, 14 Agustus 2013

29 MEI, IS HAPPY AND BAD MEMORIES FOR ME.

Sinar matahari pagi menyinari wajahku, membuatku terbangun dari tidurku. Aku bangun, membuka gorden dan jendela kamarku. Kurenggangkan tubuh ini, angin mengembus dengan santainya, membelai wajahku. Sudah hampir tujuh bulan ini, aku menetap di Belanda, iya...aku kuliah disini, dan tinggal bersama oma dan opa dari Mamaku. Kupandangi halaman rumah dari jendela, tulip-tulip berwarna-warni bermekaran, menghiasi berbagai sudut perkarangan rumah yang aku tinggali ini, musin semi telah tiba.

Pandanganku berhenti pada bingkai foto yang terletak diatas meja panjang dekat jendela. Kupandangi pigura kau difoto itu. Aku menghela nafas berat, dan kubalikkan foto itu. Aku masih marah padamu, masih kesal, masih kecewa, dan masih...terluka. Sudah tujuh bulan pula, komunikasi kita, aku putuskan. Aku tak tau bagaimana dirimu sekarang di Jakarta. Rindu? Jelas aku sangat rindu padamu. Namun, amarah ini terlalu menekan diriku, agar tak menghubungimu, tak berkomunikasi denganmu, untuk sementara.

Aku bergegas turun, setelah mandi dan bersiap-siap untuk kuliah tentunya. Aku sarapan ditemani oleh oma dan opa. Mereka sangat nenyayangiku, begitupun sebaliknya. Setiap sarapan dan makan malam, kami selalu bersama-sama. Oma juga selalu menjadi tempatku menumpahkan gundahku, tempatku menceritakan segalanya. Memang, aku lebih akrab dengan oma dan opa, ketimbang orangtuaku sendiri, mereka selalu sibuk dengan bisnis mereka di Jakarta.

Aku berangkat dengan diantar oleh oma, dengan menggunakan mobilnya. Ditengah perjalanan, HP ku berbunyi. Bilqis, sobatku menelpon. Pasti ada sesuatu yang terjadi di Jakarta. Aku shock mendengar apa yang dikabarkan oleh Bilqis. Air mataku tumpah.

" Kenapa, Sayang? Kok nangis?" Oma melirikku, aku menatapnya dengan tatapan yang masih shock.

" Oma, aku harus pergi ke Jakarta," Aku menghapus air mataku, oma memberhentikan mobil dipinggir jalan perumahan. Menanyakan apa yg terjadi, setelah aku menceritakan semua yang dikatakan Bilqis, oma langsung mengiyakan permintaanku.

" Kita pulang dulu, kamu ambil paspor sama visa, abis itu kita pergi ke bandara," Oma memutar balik mobil, dan membawaku ketempat tujuanku.

Aku berdiri tak tenang diruang tunggu keberangkatan. Ku genggam kalung pemberianmu yang sudah tujuh bulan tak aku pakai. Dirumah, aku hanya sempat mengambil paspor, visa, dan kalung ini. Bilqis menelponku, lagi.

" El, kamu langsung kerumah sakit Siloam Jakarta aja ya, kalo udah sampe Soekarno-Hatta kabarin aku," Bilqis, kurasa dia sedang sibuk. Bahkan, untuk mengucapkan salam saja dia tidak, dia menelpon hanya untuk bilang itu, dan langsung mematikannya, lagi. Tak lama, semua penumpang keberangkatan Amsterdam-Jakarta memasuki pesawat. Begitu pula aku.

Selama perjalanan Amsterdam-Jakarta, pikiranku terbang kekenangan kita. Saat hubungan kita baik-baik saja.

Dikoridor sekolah, depan kelasku, dulu. Kau didorong beberapa temanmu, mendekatiku yang sedang membaca novel. Semuanya masih menggunakan seragam putih abu-abu. Kau mengajakku ngobrol dengan keringat sebesar jagung didahimu, aku tau kau grogi. Terbukti dengan caramu bicara yang terkesan gagap. Kau mengajakku untuk pulang bersama, aku mengiyakan.

Tapi, kau tidak langsung membawaku pulang. Kau membawaku kesebuah bioskop. Kita nonton. Iya nonton, tapi nonton film yang kau buat sendiri. Film terindah yang pernah aku tonton. Indah, walau hanya berupa film-film animasi pendek romantis yang kau gabungkan dengan akhir berupa tulisan. Tulisan yang membentuk beberapa kalimat. Aku ingat, tidak...aku hapal kalimat itu sampai sekarang.

Film pertama, tentang seorang pria yang hanya bisa memperhatikan seorang wanita yang dicintainya dari jauh. Film kedua, tentang apa itu arti sakit hati saat melihat orang yang kita cintai, namun tak kita miliki, bersama orang lain. Film ketiga, Seorang pria yang tak menyerah mengungkapkan perasaannya, walau sering gagal dalam upaya mengungkapkannya, pria itu tak menyerah, dan keajaiban pun tumbuh. Film keempat, tentang arti menunggu, menunggu yang tak pasti. Dan Film kelima, seorang wanita yang memayungi seorang pria yang sedang kehujanan. Diakhir film itu, tertera beberapa kalimat...

Hidupku takkan berharga jika, aku tak tau apa tujuan hidupku.
Hidupku takkan berwarna jika, tak ada yang memberinya warna.
Hidupku adalah tentang aku yang mencintaimu.

Dan kau...
Kau adalah tujuan hidupku.
Kau lah yang memberikan warna dihidupku.
Kau lah cinta dihidupku.

Hidupku, adalah sebuah upaya untuk memberitahumu, tentang perasaanku padamu.
Temanku, sahabatku, adalah semangat yang membantuku, memberitahumu tentang apa yang aku simpan dihati ini.

Edelweiss...I LOVE YOU. 

Aku terkejut, saat itu juga aku menatapmu, yang sedang menatapku. Aku terharu, sampai-sampai, air mataku menetes. Kau genggam tanganku, dan kau, kau memintaku menjadi kekasihmu, tepat tanggal 29 Mei. Semua film animasi itu adalah potret hidupmu, yang susah mengungkapkan perasaanmu padaku. 

Aku menghela nafas, air mataku turun lagi. Mengingat semua itu.

Selanjutnya, hari-hari kita lewati dengan canda dan tawa. Awal-awalnya, banyak teman-teman kita yang malakin kamu, minta tlaktiran. Kencan pertama kita, kita lakukan dirumahku, nonton pertandingan club bola kesayangan kita, yang kebetulan, kita sama-sama menjadi pendukung Manchester United. Berdua, ditemani popcorn, kacang, dan minuman.

Terkadang aku jadi ilfil pacaran sama kamu. Kamu anak orang punya, ganteng, baik, pinter, sedangkan aku? Aku ke Belanda pun dengan biaya dari oma dan opa, serta beasiswa.

Saat kau sedang rutin-rutinnya latihan futsal, aku rela, kau cancel semua jadwal jalan kita. Aku juga jadi rutin menemanimu berlatih, menunggumu dipinggir lapangan. Menemanimu walau sampai larut malam. Memberimu sebotol air mineral. Menghapus keringatmu. Menjadi penyemangat untukmu. Menjadi seseorang yang selalu kau butuhkan.

Tapi, saat aku yang sibuk dengan ekskul musikku, kau selalu mengeluh tak mendapatkan waktuku, kau marah saat aku meng-cancel semua agendaku denganmu. Sampai-sampai, aku harus mengatur ulang jadwalku, agar kau mendapatkan waktuku setiap harinya.

Bahkan, saat kau menjadi yang bicara, aku menjadi pendengar yang baik. Semua pengalamanmu, pengalaman cinta khususnya. Sampai-sampai aku ngambek saat itu juga. Kamu langsung berjanji gak ngomongin mantan kamu lagi, saat itu juga. Lucu.

Aku tau kau belum mendapat izin dari orangtuamu untuk pacaran. Tapi, kau malah memantapkan niatmu, untuk memperkenalkanku sebagai pacarmu pada kedua orangtuamu. Aku tau kau ragu, namun kau tutupi rasa ragu itu didepanku. Dan, saat harinya tiba, kau membawaku kerumahmu. 

Disana, aku berbincang-bincang dengan Mama dan Papamu. Semua pertanyaan mereka, aku jawab dengan jujur dan dengan senyuman. Tapi, kau tak pernah tau, jika orangtuamu menceritakan kejelekanmu padaku. Yang kau tau hanya, orang tuamu menyukaiku. Itu saja.

Saat bulan Ramadhan, kita berdua mendapatkan undangan bukber. Takku sangka, mantanmu ikut hadir. Disana, kalian ngobrol panjang lebar, seakan-akan aku itu tak ada. Bahkan kau membiarkanku pulang sendiri, sedangkan kau mengantar mantanmu pulang. Seakan-akan, kau belum bisa move on darinya. Menyebalkan! Tapi, kamu selalu marah, ngediemin aku, kalau aku dekat dengan cowo lain. Baik itu sahabatmu ataupun orang lain.

Setelahnya, tak pernah ada masalah berarti dalam hubungan kita, karna kita saling mengisi posisi masing-masing. Kita bagaikan, pasangan yang paling bahagia.

Namun, semua itu pupus saat malam perpisahan digedung serbaguna yang sekolah kita sewa, tepat tanggal 29 Mei, satu tahun hubungan kita. Awalnya aku memang berniat tidak datang, karna oma dan opa datang dari Belanda. Tapi, mama dan papa menyuruhku pergi, kata mereka, ini adalah pengalamanku sekali seumur hidup. Jadi aku datang.

Di parkiran, aku menelponmu, namun aku salah telah datang kesana. Karna itu, itu menjadi alasan amarahku muncul. Aku, diparkiran, aku melihat kau sedang berciuman dengan Yuni, teman baikku. Didepanku berdiri Dika, dan Jamil yang membelakangiku. Sobatmu. Sambungan telpon tersambung, HP-mu berbunyi, kau mengambilnya. Tanganku terkulai lemas, HP-ku pun terjatuh, air mataku membanjiri wajahku. Sakit hatiku, melihat kau berkhianat dengan teman baikku. Kau melihatku dengan telpon didekat telingamu. Kau kaget, aku tau itu dari wajahmu.

Aku menghapus air mata diwajahku, setelah itu aku pergi menjauh dengan sedan hitam yang aku bawa. Aku kemudikan sedan itu tanpa tujuan, aku kacau. Bahkan, kau pun tak mengejarku. Kau, aku benci kau. Untuk pertama kalinya, aku sangat membencimu, Purna.

Aku tak tau apakah kau menghubungi HP-ku. Yang aku tau, aku menjatuhkan HP itu diparkiran.

Yuni, dia memang tidak merestui hubunganku denganmu, tidak seperti Bilqis. Kudengar dari anak-anak sekolah, kalau Yuni pernah nembak kamu, saat kita udah jadian. Bahkan untuk pertama kalinya, kau melarangku untuk berteman dengan Yuni. Tapi, aku acuhkan itu semua. Aku tetap bersahabat dengannya. Takku sangka, kalian mengkhianati kepercayaanku. Dihari jadi kita yang pertama.

Dua hari setelah kejadian itu, Yuni datang menemuiku. Dia menceritakan, bahwa dulu kalian pacaran, kau rela menjadi pacarnya yang kedua. Padahal kau tau dia sudah memiliki pacar. Kalian saling menyayangi, sampai akhirnya perbuatan kalian ketauan oleh pacar Yuni yang satunya. Yuni memutuskanmu, demi pria itu. Selama ini kau belum bisa melupakannya, makanya kau menjadikanku pacarmu. Aku, aku hanya pelarianmu. Sampai akhirnya, dia meminta kau kembali, kau iyakan. Kalian berselingkuh dibelakangku, kalian kembali bersatu namun membiarkanku menjadi penghalang hubungan kallian. Kau mencium Yuni saat itu, karna kalian mengira aku tak ada disana. Kalian berdua memang brengsek! Dan...aku percaya pada Yuni, karna Yuni tidak pernah berbohong padaku sebelumnya.

Setelah mendengar penjelasan dari Yuni, dan setelah aku bisa menerima kenyataan itu, aku menghubungimu. Aku...aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Kita telah selesai, walauku akui, aku masih sangat menyayangimu, sangat mencintaimu. Kau menolak, awalnya. Tidak, bukan hanya diawal...sampai sekarang pun kau masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kita telah berpisah. Bilqis yang selalu mengatakannya padaku.

Seminggu setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Belanda. Kau tau? Hati kecilku sangat berharap, kau akan datang padaku, menjelaskan segalanya, sebelum aku pergi. Menahanku, agar tetap disisimu. Tapi, kau tak datang menemuiku. Aku pergi, lagi-lagi dengan kekecewaan dan air mata. Pergi kebelahan bumi yang lain. Disitulah aku yakin, kalau kau sudah melepaskanku, menerima keputusanku.

Tapi, aku salah. Selama aku di Belanda, Bilqis selalu bilang kalau, kau sangat membutuhkanku. Kalau kau sangat merindukanku...

Tanpa terasa, pesawat telah mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Hp-ku berbunyi saat aku sedang mencari taksi. Bilqis.

" Bil, aku udah sampe Soekarno-Hatta, sekarang aku lang..."

" Kamu langsung kerumah Purna aja, El," Bilqis memotong ucapanku. Senyum terkembang diwajahku, mendengarnya.

" Purna udah sembuh? Syukurlah, Alhamdulillah, aku kesana sekarang," Telpon langsungku matikan. Aku menggunakan taksi, kini dalam perjalan kerumahmu. Aku akan langsung memelukmu, mengatakan betapa rindunya aku padamu, dan aku akan meminta penjelasan tentang kejadian itu padamu. Aku akan tinggal untuk beberapa hari, mungkin beberapa minggu untuk menghabiskan waktu denganmu. Aku ingin menonton film yang kau buat untukku, berdua saja, ditemani hamparan bintang. Dan aku akan memintamu, agar kamu melanjutkan kuliah di Belanda, bersama denganku.

Sesampainya didepan rumahmu, aku turun dari taksi setelah membayar ongkosnya, untung saja aku masih menyimpan rupia didompetku. Tapi, aku heran. Kenapa banyak orang dirumahmu, dan...kenapa ada bendera kuning? Gak, gak mungkin...gak mungkin.

Dika, sahabatmu sekaligus pacar Bilqis, berdiri hadapanku. Kurasa, dia memang sengaja menungguku. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya, seolah-olah dia mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Dika mengangguk lemas. Dan itu membuatku menjadi lemas, tak sanggup berdiri. Dika memapahku kedalam rumahmu. Air mataku mulai keluar, namun aku tahan sebisaku.

Diruangan yang luas itu, aku melihatmu terbaring ditengah-tengah alunan ayat suci Al Quran. Kau dengan ditutupi kain putih, kain kafan, tersenyum dengan manis, wajahmu bersinar. Aku juga melihat, Mamamu sudah tak sadarkan diri, Papamu yang membacakan surah Yasin, Bilqis yang beberapa kali menghapus air matanya. Dan Jamil yang membaca Yasin sambil menghapus air matanya.

Semua kenangan kita menari-nari diotakku. Aku teringat akan senyumanmu, tawamu, marahmu, kekhawatiranmu, perhatianmu, Kegugupanmu, semua tentangmu. Air mata yang dengan susah payah aku tahan, akhirnya keluar juga dengan deras. Aku mendekatimu, aku ingin memelukmu. Namun, Bilqis menghalangiku, dia bilang, Kalau kau sudah dimandikan. Dan aku akan mengotorimu lagi, jika aku menyentuhmu. Hanya pandangan dan rasa sayangku yang tak akan mengotorimu. Jadi, aku belai kau dengan tatapan dan perasaanku ini. Cukup dengan itu. Semua rencanaku selama ditaksi hilang sudah, rencana memang hanya sekedar rencana, hanya Tuhan yang berkehendak mengabulkan rencana itu atau tidak.

Bilqis menarikku menjauh dari sisimu. Dia dan Dika membawaku kehalaman belakang rumahmu. Aku duduk dibangku gazebo, kulihat Bilqis dan Dika sedang berdebat tanpa suara. Aku yakin, mereka berdebat untuk memutuskan siapa yang akan menjelaskan semuanya padaku. Akhirnya, Dika mendekatiku, mengelus puncak kepalaku. Bilqis pun memelukku dari samping. 

Dika menghela napas berat. Lalu ia menyalakan sebuah video dilaptopnya yang sejak awal sudah berada dimeja gazebo. Di video itu...menampakkan dirimu yang sedang sakit, dengan muka pucat dan selang yang menempel ditubuhmu, yang terhubung dari alat-alat aneh.

" Ayo Purna, udah mulai," Aku kenal suara itu, itu suara Jamil. Kau mengangguk lemah. Lama kau terdiam, sampai akhirnya...

" Umm...ha..hai Elwis, hm...bagaimana keadaanmu?...Elwis, aku minta maaf...aku gak bermaksud ngelakuin itu. Aku emang salah, aku tau itu kesalahan terbesar yang pernah aku lakuin sama kamu. Aku minta maaf, aku...aku bakal nungguin kamu dipintu surga, aku janji. Aku janji gak bakal macem-macem lagi, aku janji...aku janji...aku janji...Jaga diri kamu, Mata Pandaku...I love you..." Mata Panda, sebutanmu ke aku kalo aku kurang tidur. Kau, kau...

" Udah, Pur?" Suara Jamil terdengar lagi, kau mengangguk lemah.

" Jangan diedit, Elwis, dia benci kalo vidio dipotong-potong," Aku terperangah, kau masih ingat semuanya yang aku benci dan aku sukai. Tangisku semakin menjadi. Bilqis memelukku semakin erat.

Dika mengambil nafas panjang.

" Sebelumnya, gue sama Jamil minta maaf ke lo, El..." Dika menghela napas lagi.

"Dia, dia gak salah, El. Yang salah itu gue sama Jamil. Purna nyium Yuni gara-gara kalah tarohan sama gue ama Jamil. Awalnya dia nolak abis-abisan, dia bahkan rela ngasih ninja sama mobilnya buat gue sama Jamil, asalkan dia gak nyium Yuni. Tapi, gue sama Jamil nolak, soalnya...gue sama Jamil juga kalah tarohan dari Yuni, dan Yuni minta...biar gue sama Jamil bikin Purna nyium dia. Dan hari itu, lo bilang lo gak bakal datang ke acara perpisahan, jadi gue sama Jamil nagih ke Purna, awalnya dia gak mau, tapi akhirnya dia mau dengan syarat, lo gak boleh sampe tau, tapi...tiba-tiba lo ada dibelakang gue sama Jamil, dia ngejar lo...tapi, lo gak kekejar, dia kehilangan mobil lo dilampu merah. Di telpon, HP lo ketinggalan, dan gue yang nemuin," Aku terisak-isak menjadi pendengar penjelasan dari Dika. Kembali Dika menghela napas, lalu berlutut didepanku.

" Yuni itu, dia emang gak pernah ngerestuin hubungan lo berdua, karna dulu dia bangga, Purna suka sama dia. Tapi, dia yang nolak Purna mentah-mentah, mungkin niatnya mau bikin Purna ngejar-ngejar dia, tapi...lo tau Purna kayak gimanakan? Sampai akhirnya, lo sama dia jadian, Yuni shock, terus ngajak Purna pacaran dibelakang lo. Jelas, Purna nolak. Gue tau, Yuni ngomong apa ke lo, dia itu cuma ngandelin kepercayaan lo dong, El," Bilqis menceritakan lebih detail, karna melihat wajahku yang protes.

" Tujuh bulan yang lalu, saat dia tau lo bakal pergi ke Belanda. Dia langsung bawa mobilnya ke bandara. Dia bawa mobil ngebut banget. Dia kalap, El. Dia gak mau kehilangan lo, disayang sama lo, dia cinta sama lo dari kelas sepuluh. Hampir satu tahun dia nyimpen perasaannya. Dilampu merah, saking kalapnya dia gak mau kehilangan lo, dia gak ngeliat lampu merah. Dia terobos lampu merah, padahal kendaraan lagi rame-ramenya. Akhirnya, mobil dia ditabrak dari samping sama Truk...Selama enam bulan dia koma. Dan bulan kemaren dia sadar, setelah ngedenger suara lo dari telpon Bilqis, tapi sebelum koma, dia ngelarang siapapun ngasih tau itu ke lo," Iya, aku ingat. Pertama kalinya Bilqis menelponku hanya untuk ngobrol, basa-basi, biasanya dia hanya menelponku jika ada urusan genting denganku.

" Minggu lalu, dia bikin vidio itu sama Jamil. Dan kemaren, dia...dia pengen ngeliat lo, makanya Bilqis bilang apa yang gak boleh Purna bilang, ke lo," Aku menunduk, setetes menjadi beribu tetes air mataku mengalir makin deras. Aku bodoh, aku bodoh tidak mau mendengarkan penjelasanmu saat itu. Dan saat aku mau mendengarnya, bukan kau yang menjelaskan...melainkan Dika, sahabatmu.

Jamil muncul, matanya merah. Aku tau, Jamil dan Dika memang sahabatmu sejak SMP. Dia tersenyum padaku.

" El, sorry buat semuanya. Gue yakin Dika sama Bilqis udah cerita yang sebenernya," Jamil menepuk pundakku pelan.

" Iya, gak usah dibahas lagi," Balasku.

"Ayo, Purna udah mau dimakamin," Setelah Jamil berkata itu, aku, dan yang lain ikut mengiring tubuhmu ketempat peristirahatanmu yang terakhir. Air mataku tak henti-hentinya mengalir.

Dipemakaman, aku melihatmu dibungkus kain putih. 

" Pelan-pelan, kasian Purna," Ucapku, dengan air mata yang terus mengalir.

" Jangan ditutup, kasian Purnanya sendirian, gelap," Ucapku lagi, saat Jamil, Dika, dan Oom Yuri (Papamu) menutupmu dengan beberapa papan kayu. Bilqis memelukku, mencoba menenangkanku.

" Jangan dikubur, kasian...nanti Purna gak bisa nafas, Oom...Kasian Purna Om!!!" Aku berteriak histeris melihat gumpalan-gumpalan tanah itu mulai menguburmu.

" Jangan di injek-injek, Purnanya kesakitan. Dikaa...Jamiill...Tolongin Purna, kasian Purna, kasian..." Aku semakin histeris saat Dika, Jamil, dan Oom Yuri menginjak-injak tanah itu, memadatkannya.

" Purna, jangan tinggalin aku...Jangaann..." Aku memberontak dari pelukan Bilqis, dan berjalan kearah gundukan tanah itu, memeluk nisanmu. Sampai akhirnya...kesadaranku hilang.

Selasa, 13 Agustus 2013

Selamat Tinggal Musuhku.

Aku duduk termenung, bersandar dengan kaki terjulur lurus  memenuhi sofa yang menghadap kearah halaman belakang rumahku. Hujan rintik-rintik yang semakin lama semakin deras menjadi tirai dari jendela yang sedang kupandangi dengan tatapan kosong. Tidak, tidak sepenuhnya tatapan kosong, disana, tempat yang menjadi objek fokus pandangku. Berdiri kau, tapatnya bayanganmu. Karna tidak mungkin saat ini kau berdiri diluar rumahku, dan hujan-hujanan.

Aku tersenyum, mengingat masa-masa saat kau mengganguku. Rasa rindu akan kau yang selalu mengangguku tiba-tiba menyelundup tanpa permisi. Semuanya terulang, didepan mataku.

Kau memaksa masuk dan mengacaukan rapat OSIS yang aku pimpin.

" Evril, gue sayang sama lo! Lo harus jadi cewe gue!" Itu yang kau bilang di depan semua anggota OSIS. Aku yang dulu sangat membencimu, sangat stres menghadapi caramu yang tidak terduga untuk mengungkapkan perasaanmu. Kau memang pria yang disukai banyak perempuan. Tapi, entah mengapa. Justru itu yang membuatku membencimu. Karna kau popular disekolah dan luar sekolah. Alasan yang gak masuk akal memang.

Aku mengambil secangkir coklat hangat diatas meja kecil bundar. Memeluk permukaan cangkir, untuk menghangatkan tubuhku. Bayanganmu tumbuh kembali diingatanku.

Saat itu aku sedang memilih buku disebuah toko buku. Tak ku sangka kau juga ada disana. Seperti biasa, kau mengacaukan agendaku. Aku yang tadinya hanya pergi untuk membeli buku. Harus rela membuang berjam-jam waktuku yang berharga. Yapp...karna kau memaksaku untuk menemanimu nonton dan makan malam. Awalnya aku menolak mentah-mentah, namun kau mengancam akan mempermalukanku didepan banyak orang yang mengunjungi mall itu. Aku tahu ancamanmu itu bukan hanya sekedar ancaman, makanya aku memenuhinya. Itu, secara tidak langsung, itu menjadi kencanku yang pertama, kencan kita yang pertama, juga. Kencan yang aku lakukan dengan penuh keterpaksaan.

Kau, kau tau aku ingin sekali nonton film animasi terbaru. Kau memang selalu tau apa yang aku inginkan, dan selalu kau berikan yang aku inginkan itu. Walau pada akhirnya, aku tak pernah menghargainya. Kau menyebalkan, tapi kau juga tulus mencintaiku.

Saat makan malam, aku kira kau akan mengajakku makan di restaurant. tapi, kau membawaku kerumah makan kaki lima. Dari cara pemilik rumah makan itu melayanimu, aku tau kalau kau sudah sering makan disini.

Sentuhan lembut tangan Mama menyadarkanku dari kenanganku. Mama tersenyum padaku. Ku balas dengan lemah.

" Jangan pikirkan kejadian yang udah berlalu, sayang. Yang penting, kamu baik-baik saja," Ucap Mama, sebari menyetelkan televisi yang menyiarkan film animasi favoritku. Lalu Mama pergi diiringi senyum paksaku.

Ku peluk boneka beruang kesayanganku, hadiah darimu. Satu-satunya benda pemberianmu yang aku simpan. Waktu itu, aku selesai mengerjakan salah satu tugas praktek kimia. Saat aku mau pulang, ternyata, ban mobilku kempes. Kau datang, memarkirkan mobilmu disamping mobilku. Kau, dengan menggunakan jersey futsal tim sekolah, lengkap dengan sepatu futsalmu. Aku tau, kau ketua ekskul futsal. Kau mendekatiku, memperhatikanku dan ban mobilku yang kempes.

" Mau gue gantiin bannya?" Tawar kau, dengan senyummu yang menjengkelkan itu. Terpaksa aku mengangguk, hey...aku kan gak mau sehari penuh disekolah. Jadi, apa salahnya untuk kali ini menerima bantuanmu.

" Tapi, lo harus nerima hadiah dari gue plus disimpen plus jadi kesayangan lo dan plus harus lo peluk kalo lo tidur," Aku manyun mendengarnya, tapi apa boleh buat. Sekolah udah sepi. Aku mengangguk lagi sebagai jawabannya. Kan kau tak akan tau apa yang aku lakukan terhadap hadiah pemberianmu itu. Kau membuka pintu belakang mobilmu. Dan mengeluarkan boneka ini. Sepasang boneka beruang berwarna krem. Dibungkus dengan plastik putih bercorakkan bunga yang berbeda. Kau menyodorkan boneka beruang yang memakai pita padaku.

" Jaga boneka ini, kalo lo sedih ato kangen sama gue. Liat dan peluk aja boneka ini, yang pasangannya biar gue yang jaga," Kau mengatakannya dengan senyum yang tulus, berbeda dengan senyummu yang biasanya. Kau memasukan kembali boneka yang akan kau jaga ke dalam mobilmu. Kau buka jersey yang kau pakai. Dan mulai mengganti ban mobilku yang kempes, tubuhmu yang terawat hanya tertutup kaos oblong berwarna putih. Aku buru-buru mengambil alih pikiranku kembali. Segera saja aku menjauh kekantin, membeli minum. Masih diparkiran, aku melihat kedua sohibmu sedang ngobrol dengan asyik dibawah pohon mangga.

" Si Reza pinter juga yeh, dia yang ngempesin ban mobil si Evril, dia juga yang gantiin," Gika, temanmu yang menjadi kiper andalan tim futsal membuatku kaget dan menghentikan langkahku.

" Ya, Evrilnya juga sih, dikasih apa aja sama Reza, malah ditolak mulu. Akhirnya, Reza make otak deh biar tuh boneka diterima Evril," Udin, sohibmu yang rada-rada, menimpali ucapan Gika. Untuk selanjutnya aku tak mendengar ucapan mereka lagi. Aku berbalik menuju kau. Kau sudah selesai dengan ban. Aku menatapmu kesal. Namun, amarahku hilang, saat aku melihat boneka pemberianmu yang aku letakan didalam mobil.

" Thanks," Ucapku, sebari masuk dan menyalakan mesin mobil. Lucu memang, aku aja bingung, kenapa aku tidak membentakmu saja saat itu. Padahal, awalnya aku sangat kesal dengan caramu itu. Tapi, kau memang selalu membuat masalah denganku, agar kau mendapatkan perhatianku. Aku tersenyum tanpa sadar.

Evral, kembaran laki-lakiku mengejutkanku. Entah datang darimana, kini ia duduk disofa sebelah sofa yang aku tiduri. Tubuhnya basah, mungkin dia abis hujan-hujanan dengan motor kesayangannya. Dia menyodorkan segelas besar coklat panas. Kembaran yang pengertian. Dia ikut menonton animasi denganku. 

Ngomong-ngomong tentang Evral. Aku jadi teringat satu lagi kenangan kita. Saat itu aku sedang berdiri didepan ruang OSIS. Evral datang dan langsung memelukku. Dia merangkulku dan mengatakan pada semua orang bahwa aku dan dia pacaran. Dia memang gila, tapi dia tetap kakak yang berbeda beberapa menit denganku. Dia baru kembali dari Dubai, negara asal Papa. Dia memang tinggal di Dubai bersama Papa, namun kini dia akan melanjutkan kuliah di Indonesia. Evral mengaku-aku sebagai pacarku, karena banyak siswi disekolah yang mendekatinya.

Akhirnya, saat aku dan Evral bertemu denganmu. Kau hanya menggaruk belakang lehermu sambil tertawa canggung, lalu pergi setelah mengucapkan selamat. Kau menjauhiku, aku bersyukur, awalnya. Semakin hari, kau semakin menjauhiku. Buktinya, saat kita papasan ditangga sekolah, biasanya kau akan menghalangi jalanku, menggangguku. Namun, saat itu kau memberiku jalan. Aku melihat matamu. Mata yang dulu penuh semangat dan menatap dengan tajam. Kini berubah menjadi tatapan dingin dan tak bersemangat. Rasa aneh itu datang, aku rindu diganggu olehmu, aku rindu tatapanmu yang dulu, aku rindu celotehan-celotehanmu, dan aku rindu kenjutan-kejutanmu untukku.

" Napa lo? Mikirin Reza?" Pertanyaan Evral yang serentak itu mengagetkanku. Evral menatapku dengan tatapan tajam, tatapan yang dia warisi dari Papa. Aku menunduk.

" Reza itu cowo yang baik, gue setuju lo sama dia. Kalo minggu kemaren dia gak ada, gak tau deh lo udah jadi apaan," Air mataku menetes, kejadian minggu lalu adalah kejadian paling buruk untuk pengalamanku. 

Minggu lalu itu, ada pertemuan antara alumni-alumni yang baru keluar dengan adik-adik kelas mereka yang satu ekskul. Aku yang dulu ketua ekskul musik, ikut bergabung dengan yang lain diruang seni musik. Memberi pengarahan untuk adik-adik baru. Aku keluar paling akhir, membenahi ruangan itu sendirian. Tiba-tiba pintu tertutup, aku melihat Egar, mantan wakil ketua OSIS-ku berdiri didepan pintu. Aku tersenyum lalu hendak keluar ruangan. Langkahku terhenti saat Egar memelukku dengan erat. Aku memberontak.

" Kenapa lo nolak gue, Vril? Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo!" Kalimat itu terus diulangi oleh Egar.

" Egar, lepasin, Egar! Lo apa-apaan sih?" Aku berhasil melepaskan diri, aku berlari menjauh dari Egar. Sial, pintu dikunci. Egar terus mendekatiku, dia berhasil menangkapku. Aku terus memberontak, air mataku sudah membanjiri wajahku saat itu. Egar menarik kaos tangan panjang yang aku kenakan, sampai robek, karena aku yang juga terus melawan. Sia-sia, Egar kembali memelukku dengan paksa. Egar terus menerus mencumbuku. Aku terpojok. Aku duduk dipojok mencoba melindungi diriku. Egar membuka satu persatu kancing kemejanya.

" Egar, pliss jangan. Gue mohon," Aku terisak sambil terus menerus menggumamkan kalimat itu. Egar tak mau mendengarkan ucapanku.

Aku tak fokus. Pandanganku tidak fokus, yang ada hanya kupingku mendengar suara-suara pukulan, dan benda yang hancur. Sampai akhirnya pandanganku kembali fokus, aku melihat kau berlutut didepanku. Aku peluk kau, mencoba mencari perlindungan. Aku tak tau kapan kau mendobrak pintu ruangan itu. Sampai akhirnya kesadaranku hilang. Semuanya menjadi gelap. 

Saat aku mendapatkan kembali kesadaranku. Aku berada didalam mobilmu, tapi kau tak ada didekatku, jaket club bola favoritmu menempel ditubuhku. Pakaian yang aku kenakan ternyata sudah sobek dimana-mana. Kau memang tulus mencintaiku. Kau melindungiku, sangat melindungiku.

Pintu dekat kemudi terbuka, kau masuk dan duduk disana. Kau tersenyum lembut padaku. Aku balas, untuk pertama kalinya aku tersenyum manis untukmu. Keningmu berkerut, mungkin kau heran. Kau mengambil plastik hitam dijok belakang, lalu memberikannya padaku.

" Nih, makan dulu buburnya, satu buat lo satu buat gue," Didalam mobilmu, kita makan bubur ayam berdua, ditemani dengan musik yang mengalun lembut.

" Keluar yuk, suasana kebun teh-nya kerasa banget loh," Aku mengikutimu keluar dari mobil, kau dan aku duduk diatas kap mobilmu. Melihat hamparan kebun teh dan hamparan bintang.

" Sory, gak langsung bawa lo balik, gue cuma..."

" Thanks ya, udah nolongin gue. Dan thanks juga, gak langsung bawa gue pulang, gue pengen refreshing," Aku mengatakannya tanpa menatapmu, aku menatap bintang-bintang saat mengatakannya. Aku takut kau akan melihat wajahku yang memerah jika aku menatap wajahmu.

Lama kita terdiam, sampai akhirnya aku menyandarkan kepalaku dibahumu. Dan tertidur lelap. Saat bangun, ternyata aku sudah berada dikamarku. Aku tau, kau membawaku kekamar, dan menjelaskan semuanya kepada Mama dan Evral.

" Tuh kan, pasti mikirin Reza," Lagi, Evral mengagetkanku. Kenapa tebakannya sesalu tepat sasaran sih?!

Evral melempar HP miliknya padaku. Aku tatap dia dengan bingung.

" Lo telpon dia sekarang, hari ini dia berangkat ke Jepang buat lanjutin kuliahnya. Mending telpon sekarang ato gak sama sekali," Aku bimbang, menatap HP Evral. Sampai akhirnya, aku melempar HP Evral kepada pemiliknya lalu berlari sekuat tenaga.

" Kamu mau kemana, Evril? Hei...jangan hujan-hujanan, kamu masih demam!" Teriak Mama dari ruang keluarga. Aku ambil kunci mobil Evral diatas meja panjang yang terletak diruang tamu. Aku terobos hujan, mendekati mobil sedan sport milik Evral digarasi. Aku pacu mobil itu keluar dari lingkungan rumahku.

" Evriilll...mobil gue baru gue cuci, aduuh...kotor lagi itu, dodol lo!" Teriak Evral, yang terdengar diantara bunyi hujan yang deras. Hujan deras tak menciutkan niatku untuk menghalangi kau pergi dari hidupku. Jalanan kota Jakarta menjadi arena balap untukku, arena balap yang menentukan apakah kau akan tetap disisiku, atau kau akan pergi karena sikapku dulu padamu. Makian-makian dan umpatan-umpatan keluar dari pengguna jalan yang lain dan teralamatkan untukku. Tetap aku tak peduli, yang aku pedulikan hanya, kau, kau, kau, dan kau jangan pergi.

Lampu merah aku terobos begitu saja, untunglah tak ada polisi disana. Aku tambah lagi kecepatan mobil ini. Sampai dibandara, aku parkirkan mobil ini dengan asal. Lalu berlari menjelajahi setiap inci ruangan dibandara ini, mencarimu dengan air mata bergulir dengan deras, sederas hujan yang sedang mengguyur bumi saat ini.

" Jangan pergi, jangan pergi, kumohon. Aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku," Gumamku sebari terus berlari. Satu jam sudah aku mencarimu, namun tak kudapati dirimu. Aku duduk dipinggir jalan dekat dengan jalan masuk keparkiran bandara. Aku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tubuhku menggigil, bukan karena kedinginan setelah hujan-hujanan. Namun, menggigil karena aku menangis.

Aku mencintaimu, aku menyayangimu. Dan aku menyesal, kenapa aku baru sadar sekarang? Saat kau telah pergi kebelahan bumi yang lain. Kalau saja aku punya satu permintaan, aku hanya ingin meminta, agar kau juga tau perasaanku padamu yang sejujurnya.

Aku, dulu aku membencimu karena kau popular, dikagumi banyak perempuan. Didekati banyak perempuan. Iya, aku membencimu karna aku cemburu melihatmu yang dekat dengan perempuan lain. Itu alasan sebenarnya, kenapa aku membencimu.

Sebuah tangan yang kekar merangkulku, aku menoleh dan aku tak percaya. Kau, kau duduk disampingku saat ini, tanganmu yang satunya terjulur menghapus air mataku. Aku berdiri, kau juga. Spontan, aku memelukmu.

" Aku, aku sayang sama kamu, jangan tinggalin aku," Ucapku serak, ya...namanya juga lagi nangis. Taukan?

Kau melepaskan pelukanku, menatapku dengan kening berkerut. Lalu membuang pandanganmu dariku.

" Gue udah gak minat jadi pacar lo," Kalimatmu itu membuatku terperangah. Tapi, aku maklum. Dulu aku yang menolakmu, jadi wajar jika kau menolakku, kini.

Kau menempelkan keningmu pada keningku, membuatku mundur beberapa langkah, kau tersenyum, senyum yang menyebalkan itu lagi.

" Gue gak mau jadi pacar lo, tapi gue mau kita nikah,"

" APA?!" Ucapku, spontan akibat mendengar kalimatmu itu. Kau menjauhakan kembali wajahmu dari wajahku. Melihat sekitar, kau lakukan. Aku masih terperangah.

Kau menarikku, membawaku ketengah-tengah zebracros. Beberapa mobil yang hendak melintas berhenti. Kau berlutut didepanku, lalu mengeluarkan kotak kecil berwarna merah, yang didalamnya berisi sepasang cincin pernikahan.

" Evrillia Yanti Al-Kharl, I love you, will you marry me?" Kau berteriak, semua orang dibandara memperhatikan kita, aku yakin itu.

" Kamu serius ya?" Aku...entahlah aku bingung mau menerimanya atau menolaknya. Yang jelas, goodbye my enemy.

Jumat, 26 Juli 2013

Kenangan dan Penyesalan

Terbayang dengan jelas, saat pertama kali aku memperhatikanmu dengan intens, aku yang saat itu baru saja keluar dari toko kaset melihatmu yang juga baru keluar dari toko roti dengan membawa dua buah plastik berisi roti. Tadinya aku kira, semua roti itu untukmu dan teman-temanmu. Namun aku salah, setelah aku mengikutimu secara diam-diam, aku tau kalau semua roti itu kau berikan kepada anan-anak jalanan, pengemis, pemulung, dan pengamen. Aku terus membuntutimu sampai semua roti itu habis.

Dan aku yang membuntutimu, memberanikan diri untuk mendekatimu. Walau kita satu sekolah, aku enggan mendekatimu, bukan karena kau bodoh, jelek, atau miskin. Justru karena sebaliknya. Banyak teman-temanku yang mengagumimu, membicarakanmu. Walau awalnya aku tak percaya kau sesempurna itu, namun kini aku percaya, sangat percaya. Langkahku terhenti saat aku melihat ada dua orang anak laki-laki dan perempuan mendekatimu, meminta roti yang kau bagikan. Tapi, roti itu telah habis, dan kau membawa mereka kesebuah restaurant didekat sana. Aku terus mendekati, dan memberanikan diri ikut bergabung. Dari sanalah, kita mulai dekat.

Aku bangun dari tempat tidurku, berjalan dan berhenti didepan jendela kamarku. Aku memandang hujan dari jendela kamarku, pikiranku terbang kekenanganku denganmu, lagi. Flashback. Saat dimana aku masih melihatmu tertawa dan tersenyum untukku. Saat dimana kau marah dan ngedumel dibelakangku. Takkan pernah aku bisa melihatnya lagi. Merasakan perhatianmu, kekhawatiranmu, kejutanmu, yang selalu kau berikan untukku, dulu, tidak untuk sekarang atau untuk nanti. Dan, tanpa permisi. Bayanganmu denganku muncul dihalaman belakang rumahku, tempat yang menjadi objek pandangku saat ini.

Aku masih ingat, kejadian apa yang kini seakan terulang lagi didepan mata. Seperti siaran ulang. Kau yang sedang memijiti kakiku yang terkilir karena bermain futsal. Sambil memijit kakiku, kau juga menasehatiku agar berhati-hati. Aku mengiyakan, sambil mengacak-acak puncak rambutmu yang terurai indah. Lalu kau pergi sambil mayun dan ngedumel, dan kembali dengan dua botol minuman. Dihiasi senyummu yang manis, bukan cemberutanmu yang tadi kau pasang.

Aku menghela nafas, menghapus embun di kaca jendela. Bersamaan dengan itu, bayangan kita hilang.

Aku ingat, sangat mengingatnya dengan jelas. Saat pertama kali aku kenalkan kau pada kedua orang tuaku. Saat itu, Mamaku sedang sakit, dan Papaku sedang dinas di luar kota. Aku tak tau, jika saat itu adalah saat yang sangat tidak tepat untuk mengenalkanmu pada orangtuaku. Tapi, kau malah merawat Mamaku seperti kau merawat Mamamu sendiri. Kau kerjakan semua pekerjaan rumah yang belum diselesaikan Mamaku. Kau rela pulang malam demi merawat Mamaku. Kau memang pandai meminta restu orangtuaku.

Aku beruntung mendapatkan perempuan sepertimu. Banyak yang menginginkanmu, namun kau malah memilihku. Aku beruntung, iya, sangat beruntung. Kau sabar menghadapi sikapku yang keras kepala, egois, dan jarang memberikanmu kenyamanan. Bahkan, saat aku tak memberikan kabar selama berbulan-bulan, kau tetap bertahan, tetap setia. Kau abaikan semua pria yang mendekatimu, yang ingin menggantikan posisiku. Atau lebih tepatnya memperbaiki posisiku.

Aku berjalan keluar kamar, di ruang tamu, aku berhenti. Mamaku masih menangis sesenggukan sambil memandangi fotomu, dan juga menyebut-nyebut namumu, seakan-akan dengan Mama melakukan itu, kau akan kembali ke pelukanku dan pelukan keluargaku. Papa juga ada disana, mencoba menenangkan Mama. Aku tahu, sulit untuk Mamaku mengikhlaskanmu pergi tanpa pamit. Kau sudah terlalu dekat dengannya, juga dengan keluargaku. Untuk beberapa menit aku terdiam, memandang sebuah bayangan. Bayanganmu yang sedang duduk di sofa berdampingan denganku, meributkan masalah sepele. Aku masih ingat, masalahnya adalah aku dan kamu mendebatkan soal klub bola favorit kita, Manchester United. Akhirnya kamu yang mengalah, walau dengan menggerutu. Lagi-lagi aku tersunyum.

Aku kembali berjalan, didepan meja makan aku berhenti. Mengambil minum. Lagi, bayanganmu denganku muncul. Kali ini, aku sedang duduk, memperhatikanmu yang tengah sibuk menata meja makan. Kejadian ini, sudah sangat lama. Saat pertama kali aku membawamu kerumahku. Kau sibuk menyiapkan makan malam untukku dan Papa. Sedangkan untuk Mama, kau buatkan bubur spesial untuknya. Bayanganmu kini berjalan ke arah dapur, sedangkan bayanganku sudah tak ada. Aku mengikuti bayanganmu. Di dapur, kembali aku melihatmu dengan bayanganku sedang membuat kue. Lebih tepatnya pastry. Saat kenangan ini terjadi, aku ingat kau sedang menyukai pastry. Dan selalu membuatnya. Aku lah orang pertama yang selalu kau suruh untuk mencicipi dan mengomentarinya.

Bayanganmu menghilang, saat aku hendak membelaimu. Mungkin, Tuhan tak mengizinkanku membelai orang yang telah aku sakiti. Orang yang telah memberikan kebahagian untukku namun, aku balas dengan kesedihan untukmu. Aku menghela nafas, tanganku masih diudara, berharap kau ada disana dan aku dapat membelaimu. Seperti dulu.

HP ku bergetar, menyadarkanku dari lamunan akan dirimu. Temanku mengirimiku pesan singkat, menyuruhku untuk kesekolah. Aku pun memutuskan untuk pergi kesana, dengan harapan akan mendapat hiburan dari teman-temanku.

Aku membawa motor sportku membelah jalanan di kota tempat aku dan kau bertemu. Rasanya disetiap aku melirik ketepi jalan, aku melihatmu disana, melakukan aktifitas seperti biasanya. Saat di pertigaan, lampu merah menghentikan laju motorku. Aku melihat ke arah sebuah mobil sedan yang berhenti tepat disampingku. Mengingatkanku akan satu lagi kenangan kita, di sini, tepat dipertigaan ini.

Saat itu, aku dan kau hendak pergi kesebuah mall, untuk menonton film yang sudah lama kau tunggu-tunggu. Senyum tak bosan-bosannya menghiasi wajahmu. Sampai, seorang temanku menelponku, dan menyuruhku untuk ikut bermain futsal melawan SMA yang sudah menjadi rival terberat SMA kami. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakannya. Mengatakan itu padamu, ternyata membuat senyummu lutur. Lantas kau, mengajukan untuk pergi nonton film sendiri. Namun, aku melarangnya. Karena aku takut, takut jika ada seorang pria yang menemanimu menonton film yang kau dambakan. Tidak, aku tidak memberikan alasan itu saat melarangmu. Aku terlalu gengsi untuk mengatakannya. Awalnya kau terlihat sangat marah, tapi kau malah menuruti kemauanku dengan senyum manis itu lagi, kau memang pandai menyembunyikan emosi, kekecewaan, dan kesedihanmu dihadapanku. Aku memang egois, aku akui itu. Aku sadari itu, aku sadari saat kau tidak bersamaku lagi.

Suara klakson mobil dibelakangku, menyadarkanku dari lamunan. Lampu hijau. Aku kembali laju motorku, menuju sekolah.

Kini, aku berdiri dipinggir lapangan futsal. Teman-temanku sedang berlatih ekskul futsal. Mereka memaklumi jika aku belum bisa ikut berlatih, namun mereka bilang setidaknya aku tidak tenggelam semakin dalam, dalam kesedihan. Aku tahu, mereka paling mengerti aku, setelah kau dan orangtuaku. Namun, kini hanya orangtuaku dan mereka, tidak ada kau.

Aku kembali melihat bayangan masalalu kita. Kau berdiri tepat disebrang lapangan, memegang sebotol air mineral. Bayanganku mendekatimu dengan bersimbah keringat. Kau memberikan air itu padaku. Kau dan aku kemudian berbincang-bincang dibawah pohon, sambil duduk, kau menghapus keringat diwajahku. 

Aku menghela nafas. Aku memutuskan untuk memasuki sekolah lebih dalam. Duduk disebuah bangku taman yang terletak tepat ditengah-tengah 11 IPA 1 dan 11 IPS 1, kelas kau dan aku, atau tapatnya di depan kelas 11 IPA 3. Sesaat aku dapat merasakan, jika kau duduk disampingku. Aku ingin menoleh, melepas rinduku padamu, namun aku urungkan niatku itu. Aku takut, jika aku menoleh, aku tak mendapatimu disampingku.

Aku melihat sebuah film yang dibintangi olehku dan kau, tepat dihadapanku, sekarang ini. Saat kau memelukku yang sedang duduk dari belakang. Kau menarikku sambil merengek ditemani makan dikantin. Aku tersenyum melihat kenangan itu lagi.

Kembali, sebuah film masalalu kita berputar dihadapanku, berbeda dengan yang tadi. Masalalu, saat kau untuk pertama kalinya menghindariku. Memperlihatkan air matamu didepanku.

Saat itu, istirahat. Aku duduk berbincang dengan temanku didepan kelas. Temanku menyuruhku untuk memutuskanmu, dan kembali dengan mantanku. Aku menanggapinya sebagai lelucuan. Jadi, aku hanya mengangguk sambil bilang 'iye, gue juga udah bosen. hahaa' dengan maksud bercanda. Tapi, ternyata kau ada dibelakangku. Kau memberikan flashdisk-ku yang kau pinjam untuk presentasi. Lalu kembali ke kelasmu. Awalnya aku tak sadar jika kau marah. Saat istirahat kedua, aku melihat kau didepan kelas sedang berbicara dengan seorang guru. Aku mendekatimu, kau melihatku setelah selesai bicara dengan guru itu. Kau langsung masuk kedalam kelas. Tetap aku melangkah. Di kelasmu, aku menanyakan dimana kau? Namun, temanmu menjawab jika kau sedang keluar kelas. Disitulah aku sadar, jika kau marah padaku.

Aku memaksa untuk mencarimu dikelas itu, tapi teman-temanmu menghalangiku. Sampai bel masuk, aku baru kembali ke kelasku.

Pulang. Sial. Kelasku pulang paling akhir, karena gurunya betah dikelasku. Sehingga saat aku tiba dikelasmu, kelasmu sudah kosong, hanya ada beberapa murid yang menjalankan kewajiban mereka. Piket.

Aku duduk didepan kelasmu, selama beberapa menit. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk pulang. Baru saja aku berdiri, kau muncul dari ruang guru. Senyum lega menghiasi wajahku. Aku mendekatimu. Tapi, kau menghindariku. Aku terus mengikutimu, sampai diparkiran. Kau berheti dan melihatku dengan air mata yang mengalir. Aku tak kuat melihatnya, melihatmu dengan air mata kesedihan itu. Aku peluk kau disana. Kau memang baik, hanya dengan memelukmu saja, kau sudah mau memaafkanku. Iya memaafkan, tidak untuk melupakan. Buktinya saja, kau masih jutek jika aku tanya, saat itu.

Aku menghela nafas, lagi. Kulirik sampingku, dan benar. Kau tak ada disana.

Aku putuskan untuk pergi dari sekolah saat ini. Aku berdiri dalam diam di tengah hamparan padang ilalang. Tempat aku mengutarakan perasaanku padamu, saat itu kau baru saja menjadi juara umum lomba photografer. Dengan alasan itu, aku membawamu kesini pada malam hari. Aku persembahkan hamparan bintang dan hamparan ilalang sebagai saksi bersatunya kita. Dan sekaligus menjadi tempat pertama kali kita kencan. Ya... Piknik. Kau memang berbeda dari semua perempuan. Kebanyakan perempuan ingin kencan pertamanya di restaurant mewah, atau mall. Sedangkan kau? Kau memilih untuk piknik berdua denganku. Disini. Aku terdiam, ilalang disekitarku terasa bergerak. Kau, kau kembali hadir dalam bayanganku. Kau berlari, sedangkan bayanganku mengejarmu. Iya...aku ingat, itu saat kau memotretku ketika aku sedang bengong, dan hasilnya sangat mengecewakan.

Sekali lagi, aku merasakan kau ada disampingku, memeluk erat tanganku. Seperti, kau juga melihat apa yang aku lihat.

HP-ku bergetar. SMS dari temanku, yang berisi, aku harus kembali kesekolah, karena akan ada rapat anak futsal. Dengan enggan aku kembali kesekolah.

Aku berdiri disamping motorku, di depan gerbang sekolah. Bayangan itu lagi! Kenapa disetiap tempat yang aku datangi, selalu ada kenangan bersamamu? Apa kau ingin mengingatkanku? Tapi, tolong, jangan kau ingatkan aku tentang kejadian yang ini. Kumohon.

Tidak, kau tidak membiarkanku hidup tenang, aku tahu. Karna aku pantas mendapatkannya.
Aku melihat, seperti siaran ulang yang sangat jelas. Aku melihat, cerminan diriku yang sedang memeluk seorang perempuan. Iya aku tahu, itu bukan kau. Itu mantanku. Aku berselingkuh dengannya. Aku memang rakus, aku tak tahu diri. Aku sudah mendapatkan kau yang mampu menyempurnakan hidupku. Tapi, aku malah mencari yang lain saat aku masih bersamamu. Dan kau, kau melihatnya, kau melihat aku berpelukan dengan mantanku. 

Kau berjalan menjauh, aku panggil pun kau tak menoleh atau berhenti. Aku tau kau menangis. Kau terus saja menjauh. Sampai pada akhirnya, aku berhasil berada disampingmu, namun disaat aku berada disampingmu, aku tau akan kehilanganmu, untuk selamanya. Kau, tertidur dengan manis ditengah jalan raya, wajahmu tetap cantik. Tak ada darah sedikit pun yang mengalir dari tubuhmu. Kau belum mati, aku tahu. Karna kau membalas genggaman tanganku walau lemah.

Mataku mulai berkaca-kaca. Aku kendarai lagi motorku dengan kecepatan tinggi. Aku ingin menemuimu, meminta maaf, aku menyesal. Sungguh menyesal telah mengabaikanmu dulu. Aku ingin kau berdiri disetiap langkahku lagi. Aku merindukanmu. Aku ingin memelukmu. Aku ingin mengubah sikapku. Aku ingin membuatmu nyaman berada didekatku. Kumohon, kembali lah...

Aku berdiri disamping gundukan tanah yang masih bertabur bunga-bunga segar. Kau, kau meninggalkanku setelah kau menggengam tanganku cukup lama. Meninggalkanku untuk selamanya. Aku menatap nisan bertuliskan namamu. Air mataku sudah tak terbendung. 

Kenapa aku harus merasa takut kehilangan disaat aku sudah kehilangan? 
Aku menggumamkan permintaan maaf berulang-ulang. Walau aku tahu, aku sudah terlambat. Aku menyesal. Aku memang salah. Secara tidak langsung, penyebab kematianmu adalah aku. Aku bodoh, aku memang bodoh. Aku tak bisa menghargaimu, aku tak bisa menjagamu, aku tak bisa membuatmu bahagia. Tapi, aku juga tak mau melepasmu. Tangisku semakin menjadi, kala semua kenangan kita berputar lagi dibenakku.

Aku menghapus air mata yang bergulir dari mataku.

" Hai sayang, maaf aku baru menengokmu. Aku gak kuat melihat kamu pergi untuk selamanya. Hmm... Tadi hujan ya, deras banget. Mungkin, semesta juga masih sedih akan kepergianmu, disana hujan ya? Kamu kedinginan ya disana? Aku juga kedinginan gak ada kamu disini... Aku kangen kamu, aku kangen semua yang ada sama kamu, sikap kamu, manjanya kamu, semuanya. Everything about you, i miss you" Aku tak kuasa menahan air mataku, semuanya tumpah saat aku memeluk nisanmu. 

Aku merasakan, kau memelukku juga dari belakang. Aku takut jika aku menoleh, aku tak mendapatimu disini. Namun, aku menoleh juga dengan ragu. Kali ini, aku melihatmu. Aku bangkit dari dudukku. Kau terlihat sangat cantik dengan dress lengan panjang berwarna putih bersih. Wajahmu bersinar, rambut indahmu terurai, senyum itu, senyum yang aku rindukan melekat diwajahmu. 

Tanganmu bergerak, menghapus air mataku. Aku tak mau berkedip, takut jika aku berkedip dan saat melihatmu, kau sudah tak ada dihadapanku.

" Jangan pergi, kumohon. Maafkan aku, aku memang salah. Aku gak mau kamu jauh dari aku. Mama sama Papa juga ga mau kamu pergi. Aku memang bodoh, tapi aku janji, aku bakal berubah demi kamu. Pliss...Jangan pergi, jangan tinggalin aku sendirian. Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, gak ada yang bisa gantiin kamu dihidupku. Banyak yang sedih kalo kamu pergi, jangan pergi, biar aku aja yang pergi," Aku terus bicara dengan suara serak. Sampai kau menggeleng dengan senyummu itu. Aku diam. menunggu tanggapanmu.

" Kamu gak perlu minta maaf, kamu gak salah. Aku yang salah, udah bikin kamu jenuh sama aku, sampai akhirnya kamu selingkuh," Bodoh, kenapa kau jadi bodoh seperti ini? Kau masih saja menyalahkan dirimu sendiri? Aku yang salah, bukan kamu!

" Aku juga sayang sama kamu, cinta sama kamu. Aku gak pernah jauh dari kamu kok. Aku selalu ada disamping kamu, menemani setiap langkah dihidupmu. Dan aku selalu ada disini, dihati kamu," Kau menyentuh dadaku. Aku genggam telapak tanganmu yang menyentuh dadaku. Agar aku bisa menahanmu jika kau pergi lagi.

" Jangan siksa hidupmu sendiri, Sayang. Aku ingin kamu bahagia. Aku selalu ada dihati setiap orang yang menyayangiku," Aku diam. Menatap matamu yang berbinar, dalam. Aku memejamkan mataku, meresapi sentuhan tanganmu didadaku. Sampai aku sadar, bahwa tanganmu sudah tak ada digenggamanku, lagi.